BeritadefaultKhazanah

TAQLID

Bagian Kedua dari Buku Ahlu Sunnah Wal Jama'ah, Bid'ah, Khurafat | Oleh: H. Djarnawi Hadikusuma

Taqlid ialah mengikuti paham orang lain dengan tidak mengetahui atau tidak bermaksud mengetahui alasannya, atau mengetahui alasannya lalu dengan mutlak mengakui kebenarannya sambil menyatakan atau tidak mengambil perhatian atas pendapat serta alasan pihak lain. Umpamanya jika kita taqlid kepada Imam Syafi’I kita ikuti saja hukum-hukum yang ditetapkannya dengan tidak merasa perlu mengetahui dalilnya atau mengetahuinya sambil secara a priori menolak pendapat ulama lain atau tidak mengambil perhatian atas dalil-dalil atas dalil-dalil ulama lain. Maka taqlid itu mengadung arti; secara mutlak meyakini kebenaran seseorang dengan atau tanpa mengetahui lasan-alasan dan dalilnya.

Taqlid ini asalnya bukan dari agama Islam melainkan peninggalan dari agam aYahudi dyang dikepalai oleh pendeta-pendeta (rabbanijjun). Mereka mempunyai kekuasaan mutlak mengenai agama, dan apapun perkataannya wajib dianggap benar dan dita’ati, seperti yang difirmankan Allah:

 اتخذُوا أحبارَهم ورَهْبانَهُم أرْباباً مِن دُونِ اللهِ (التوبة: 21

“Mereka menjadikan pendeta dan orang saleh mereka sebagai Tuhan selain Allah”.

Mempertuhan pendeta, artinya menganggap bahwa para pendeta ituwakil Tuhan yang wajib dita’ati sebarang perintah dan perkataannya. Unsur ini tidak seluruhnya masuk ke dalam keyakinan umat Islam, melainkan sebagiannya, yaitu anggapan bahwa para ulama itu wali dan kekasih Allah dan keramat. Inilah gejala yang menimbulkan churafat atau syirik. Ada sebagiannya yang lebih ringan dan lebih kecil, yaitu anggapan bahwa sebarang fatwadan hukum yang ditetapkan oleh ulama adalah pasti benardan wajib dita’ati baik dengan melalui alasan atau tidak, inilah dia taqlid itu. Imam tempat bertaqlid umumnya ada empt yaitu Madzhab Empat tersebut diatas. Kadang-kadang kaum taqlid mengecap sesat atau kafir kepada orang yangtidak bertaqlid, tentu ini sekedar eske yang berlebih-lebihan.

Padahal Imam-imam yang Empat itu sendiri melarang taqlid. Inilah perkataan mereka antara lain:

1. Berkata Imam Abu Hanifah:

حَرامٌ علَى من لم يعرفْ دليلي أن يُفْتِيَ بكلامي

“Terlarang bagi orang yang tidak mengetahui dalilku untuk memberi fatwa dengan perkataanku”,

هذا رأي أبي ؛نيفةَ فمن جاءنا بخبرٍ منه قبلناه

“Ini hanya sekedar pendapat Abu Hanifah. Maka siapa saja mendapatkan ijtihadyang lebih baik niscaya akan kami terima”.

2. Berkata Imam Malik ketika memberikan hukumdari hasil ijtihadnya:

انظروا فيه فإنه دينٌ وما من أحدٍ إلاّ مأخوذٌ من كلامه ومردودٌ عليه إلاّ صاحب هذا القبرِ

“Nilailah ijtihadku ini oleh karena mengenai perkara agama (jangan terus diterima saja). Tidak seorang manusia kecuali dapat diterima perkataannya dan dapat pula ditolak, kecuali manusia yang dimakamkan dalam kuburan ini (yakni Rasulullah, yang sabdanya harus diterima tidak boleh ditolak)”

إنما أنا بشرٌ أخطئُ وأصيبُ فالنظروا في رأي فكاّما وافق الكتابَ والسنةَ فخذوابه وكاّما لمْ يوافقف الكتابَ والسنةَ فاتركواهُ

 “saya ini manusia biasa, dapat salah dan benar. Karena itu nilailah pendapatku dan setiap sesuai dengn Kitab dan Sunnah namaka tinggalkanlah!”

3. Berakata Imam Syafi’i:

إذا رأيتم كلامي يخالف كلامَ رسول الله فاعملوا بكلام رسول الله وضْربوا بكلامي الحائط

“Jika kamu sekalian berpendapat bahwa perkataan saya menyalahi perkataan Rasulullah maka amalkanlah perkataan Rasulullah dan perkataan saya itu lemparkan saja keluar pagar.”

وقال للرّبيع : لا يقالدني في كلّ ما أقول وانظر في ذلك لنفسك فإنه دينٌ

Berkata Iamam Syafi’i kepada Rabi’ muridnya: “Jangan engkau bertaqlid padaku tentang tiap apa yang kukatakan, melainkan engkau sendiri harus memikirkan (menyelidiki) dalam perkara it, karena itu sesuatu mengenai agama.”

إذا صحّ الحديث فهو مذهبي

“Jika sesuatu hadits ternyata shahih, maka itulah madzhabku.”

لا يحلّ تقليد أحدٍ سوى النبي صلى الله عليه وسلم

“Tidak halal bertaqlid kepada seseorang selain kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam”.

4. Berkata Imam Ahmad bin Hanbal:

انظروا في أمر دينكم لإإنالتليد بغير معصوم مذموم وفيه

“Berpikirlah (selikilah) dalam perkara agamamu, sebab taqlid kepada orang yang tidak maks’shum itu tercela dan membuta-tulikan hati-sanubari”. (Manusia yang ma’shum atau terhindar dari kesalahan hanyalah Rasul dan Nabi).

قبيح على من اعطي شمعةً يشتضئُ بها أن يطفئها ويمشي معتمداً على غيرهِ

“Tercela sekali orang yang telah diberi pelita untuk dijadikan penerangan tetapi dia sendiri padamkan pelita itu lalu ia berjalan bergantung pada orang lain.” (Orang yang mematikan atau membekukan akalnya taqlid pada pendapat orang lain).”

لا يقالدني ولا تقالدْ مااكا ولا الأوزاعي ولا النخعي ولا غيرهم وخذالأحكام من حديث أخذوا

“Jangan sekali-kali engkau taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Imam Malik, jangan pula kepada Imam Auza’I dan jangan pula kepada Imam Nakba’I serta jangan pula kepada lain-lainnya. Ambillah hukum langsung dari mana mereka mengambil: (yaitu Quran dan Sunnah Rasul)”.

Jelaslah bahwa Imaam-imam ditaqlidi orang itu sebenarnya melarang taqlid dan tidak rela ditadlidi. Taqlid yang dibolehkan bakan diwajibkan hanya kepada seorang manusia saja yaitu Rasulullah.

Jelas bahwa taqlid itu dilarang, dan berfikir untuk mengetahui dalil-dalil setiap hukum itu diperintahkan dalam agama. Menerima hukum dengan mengetahui dalilnya Quran dan Hadits itu dinamakan ittiba’. Mencari hukum sesuatu yang belum ada nashnya yang jelas dan tegas dalam Quran dan Sunnah, ini bernama ijtihad. Ijtihad dan ittiba’ hukumnya wajib. Orang yang alim atau guru yang mengerjakan sesuatu hukum, wajib menerangkan dalil-dalilnya agar orang dapat berittba’. Cela sekali ulama yang mau atau ingin ditaqlidi.

Baca juga : IJTIHAD

 

https://m.facebook.com/public/Majelis-Tabligh-Muhammadiyah    IG ;@Majelistabligh

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker