defaultIbadah

Tuntunan Doa Iftitah dan Al-Fatihah Ketika Menjadi Makmum

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA—Bacaan orang yang salat ketika menjadi makmum dibedakan menjadi dua. Pertama, ketika imam membaca dengan tanpa suara (sirr) dan kedua ketika imam membaca dengan keras (jahr).

Ketika ia menjadi makmum dalam salat sirr, ia disunahkan membaca doa iftitah dan diwajibkan membaca al-Fatihah. Hal itu didasarkan kepada hadis Rasulullah saw:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila (setelah) bertakbir saat salat, ia diam sejenak. Aku kemudian bertanya: Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau lafalkan ketika engkau diam antara takbir dan memulai bacaan (al-Fatihah)? Rasululllah menjawab: Aku mengatakan: Allahuma ba’id baini wa baina khatayaya kama ba’adta bainal-masyriqi wal-maghrib, Allahuma naqqini min khatayaya kama yunaqqats-tsaubul-abyadhu minad-danas, Allahummaghsilni min khatayaya bil-ma’i wats-tsalji wal-barad.” (HR an-Nasai, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah dan lafal hadis dari Ibnu Khuzaimah).

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca induk al-Quran (al-Fatihah).” (HR. Muttafaq ‘Alaihi).

Ketika ia menjadi makmum dalam salat jahr, yang ia lakukan sebelum imam mulai membaca al-Fatihah adalah membaca doa iftitah (sebagaimana tercantum dalam hadis di atas) dan saat imam sedang membaca bacaan ia diam dan mendengarkan bacaan imam. Diamnya makmum untuk mendengarkan dan menyimak bacaan imam merupakan bagian dari kesempurnaan bermakmum.

Hal itu didasarkan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi: “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-A’raf (7): 204).

Sabda Nabi saw: “Hanyasanya imam itu dijadikan panutan makmum. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, jika ia membaca, diamlah kalian.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah).

Dalam hadis lain juga terdapat keterangan yang melarang makmum membaca saat imam sedang membaca dengan suara keras (jahr).

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw ketika selesai dari suatu salat yang bacaannya jahr, ia bertanya (kepada jamaahnya): Adakah seseorang di antara kalian tadi membaca al-Qur’an? Seseorang menjawab: Ya, saya, wahai Rasulullah. Sabda beliau: Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)? Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Qur’an bersama Rasulullah saw bila beliau membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar. (HR Malik dalam kitab al-Muwatha).

Ada pula beberapa ulama yang mengambil jalan tengah, dengan mengkompromikan keharusan membaca surat al-Fatihah dalam hadis “la salata li man lam yaqra’ bi ummil kitab” dan keharusan diam serta mengikuti bacaan dalam hadis “wa idza qaraa fa anshitu” dengan menganjurkan imam untuk berdiam sebentar (saktah)  sebelum membaca surat, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi makmum membaca al-Fatihah (Ibnul-Qayyim dalam Zadul-Ma’ad, hal. 207). Pendapat ini juga boleh pula untuk dipakai.

Pendapat para ulama memang beragam dalam permasalahan doa iftitah dan membaca surat Al-Fatihah ini, karena ada perbedaan di antara mereka dalam mengkompromikan masing-masing nash. Oleh karena keberagaman itu, hendaknya warga Muhammadiyah membuka ruang toleransi setinggi-tingginya untuk pengamalan yang berbeda dengan fatwa Majelis Tarjih, dan dalam hal ini kita bisa menerapkan prinsip at-tanawwu’ (keragaman).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker