Adab Ikhtilaf

Adab Ikhtilaf

Muh. Waluyo, Lc., M.A.[1]

 

  1. Pendahuluan

Metode-metode teologis berusaha membuka jalan untuk sampai kepada kebenaran. Seperti itu pula, mazhab-mazhab fikih berusaha untuk menyingkap tirai yang menyelubungi hukum-hukum yang nyata. Kebenaran tidak diabtraksikan dalam satu metode saja atau satu mazhab saja. Karena hal itu akan melahirkan sebuah konsekuensi pengingkaran terhadap metode-metode atau mazhab-mazhab secara keseluruhan sekalipun terdapat sejumlah kesalahan.

Jalan terbentang luas untuk menghilangkan perbedaan pendapat dan mendekatkan perbedaan pandangan adalah mengkaji dan membandingkan pendapat dari mazhab-mazhab tersebut dengan menelusuri hal-hal yang menjadi latar belakang terjadinya sejumlah perbedaan pandangan yang dikemukakan oleh para ulama kita sekalipun bersumber dari dasar yang sama yaitu Al-Quran dan Sunnah.

 

 

  1. Gambaran Umum Tentang Ikhtilaf

Allah SWT telah menciptakan dan membekali manusia dengan akal dan kepandaiannya. Semua potensi itu mengundang timbulnya ikhtilaf secara lisan, imajinasi dan pemikiran. Setiap permasalahan yang muncul akan memberikan peluang kepada manusia untuk berpendapat dan mengeluarkan suatu kebijakan.

Ikhtilaf (beda pendapat)[2] merupakan salah satu tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sesungguhnya segala kemakmuran yang ada di jagat raya ini termasuk tegaknya kehidupan tidak akan terwujud apabila manusia diciptakan dalam keadaan yang sama dalam segala hal, mulai dari proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil ciptaan Allah itu (QS. Hud : 118-119).

Imam  As Subkiy membagi ikhtilaf menjadi tiga jenis, pertama, menyangkut usul (pokok dan prinsip) yaitu yang menyimpang dari kandungan Alqur’an dan tidak diragukan lagi merupakan tindakan bid’ah dan sesat. Kedua, menyangkut perselisihan pendapat dan peperangan yang bisa menjadi haram jika tidak menginginkan kemaslahan-kemaslahan. Ketiga, menyangkut masalah furu’ (cabang) seperti ikhtilaf dalam hal halal-haram atau sejenisnya.[3] Prof DR. Minhajuddin membagi dalam dua bagian besar yakni:Pertama, ikhtilaf dalam kepastian nas dan kualitasnya, Kedua. Ikhtilaf dalam pemahaman nas dan hikmahnya.

Perselisihan ulama fiqh yang menyangkut masalah furu’merupakan sesuatu yang ada sejak dahulu (masa Rasulullah sawdan sahabat). Pada masa itu ikhtilaf yang terjadi tidak sampai menimbulkan perpecahan karena Rasulullah selalu berusaha mengembalikan segala urusan mereka melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.

Adapun pada masa sahabat, ikhtilaf yang terjadi cukup membahayakan umat , seperti berikut: a. Ikhtilaf ketika wafatnya Rasulullah saw. b. Ikhtilaf dalam hal penguburan Rasulullah saw  c. Ikhtilaf dalam hal pengganti Rasulullah saw d.Ikhtilaf dalam memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. e. Perselisihan seputar masalah fiqh.[4]

  1. Faktor Penyebab Ikhtilaf

Ada anggapan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah fiqh  adalah karena semata-mata pendapat pribadi orangnya, sehingga muncullah mazhab dan berbagai aliran pendapat. Padahal sesungguhnya yang terjadi tidak selalu demikian. Sesungguhnya kitab-kitab fikih itu tidak lain merupakan keterangan dan rincian hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah Nabi sesuai dengan yang dipahami oleh ahli fikih dan dalil-dalil syara’ setelah mereka menggunakan seluruh kemampuan yang ada untuk mengumpulkan, memahami dan menganalisa semua dalil-dalil dimaksud.

Ikhtilaf pada periode Abu Bakar dan Umar bin Khatab sangat terbatas. Hal ini disebabkan antara lain, karena mereka tidak berikhtilaf pada masalah-masalah prinsip agama. Perbedaan faham di antara mereka tidak menjadikannya keluar dari masalah pokok yang diperselisihkan dan unsur musyawarah tetap mereka pelihara dan hormati.[5]

Sempitnya ruang lingkup ikhtilaf pada kedua priode tersebut di atas. tampaknya sulit dipertahankan, hal ini karena semakin bertambah luasnya wilayah dan pengaruh Islam di seputar jazirah Arab dan di luarnya dengan berbagai macam pola hidup, tradisi dan adat kebiasaannya. Faktor inilah yang memicu timbulnya ikhtilaf. Ikhtilaf dalam fiqih lebih  cenderung diangkat ke permukaan dalam bentuk kajian dan tulisan oleh para ulama’.[6] Berikut ini penulis mencoba mengemukakan dalam kajian sederhana ini, faktor-faktor khusus penyebab ikhtilaf dalam islam:[7]

  1. lkhtilaf dalam qira’at.
  2. lkhtilaf Sahabat dalam memahami hadis
  3. Nas Al quran yang memiliki makna ganda
  4. Ta’arud al Adillah
  5. Kasus-kasus tertentu yang tidak ada nas-nyas ecara sharih.
  6. lkhtilaf Dalam Qira’at

Salah satu faktor penyebab perbedaan pendapat para fuqaha ialah faktor qiraat. Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Rasulullah saw qira’at secara mutawatir hanya saja sebab wurudnya mengundang perbedaan pendapat ulama dalam meng-istinbatkan hukum antara seperti Ikhtilaf pada wudhu tentang mencuci atau membasuh kedua kaki.  Allah SWT berfirman: Surat al Maidah: 6

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basulah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki .. . “(al-Maidah, 5:6).

Dalam ayat ini, terjadi perbedaan qira’at dikalangan ulama misalnya, Nafi, Ibn ‘Amir, dan al-Kisa’iy, membaca “(waarjulakum) dengan: sedangkan Ibnu Kasir, Abu ‘Amru dan Hamzah, membaca: dengan: (waarjulikum)  Oleh karena itu perbedaan qiraat di sini merupakan salah satu sebab ikhtilaf. Jumhur ulama dalam hal ini, cenderung dengan qiraat nasab, karena itu kita berkewajiban membasuh kedua kaki pada wudhu’ tidak dengan menyapunya.[8] Yang menjadi sebab perbedaan pendapat di antara mereka karena adanya dua bacaan yang dikenal oleh mereka mengenai ayat wudhu yaitu waarjulakum dan waarjulikum. Ulama yang membaca wa arjulakum, berarti di athaf-kan kepada anggota yang dibasuh; dan bacaan wa arjilakum karena di-athaf-kan kepada anggota yang disapu.[9]

  1. Ikhtilaf Sahabat Dalam Memahami Hadis

Sahabat Rasulullah SAW dalam meriwayatkan hadis tidaklah sama derajat dan daya nalar di antara mereka. Sebagian di antara mereka menelaah dan meriwayatkan hadis, maksimal dua buah hadis. Hal ini karena Nabi SAW tidaklah selamanya sebagai periwayat hadis, kadang-kadang ia berprilaku sebagai pemberi fatwa, qadhi, atau melakukan sesuatu yang hanya didengar, atau dilihat oleh sahabat yang hadir di majelis Nabi, lalu yang mendengar dan melihat langsung Nabi berbuat, menyampaikannya kepada yang lainnya. dan demikianlah seterusnya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan pengetahuan mereka terhadap hadis Nabi berbeda-beda. Sahabat yang lebih sering berkumpul bersama dengan Nabi akan lebih banyak penelaahan dan pengetahuannya terhadap hadis. Para sahabat juga akan berbeda dalam menetapkan dan menilai suatu Hadits. Para sahabat tidaklah serta merta mengamalkan suatu hadis, tanpa mengetahui dan memahami lebih jauh kualitas hadis tersebut. Sebagai contoh, yaitu ketika Abu Bakar al-Shiddiq dimintai tanggapannya oleh sahabat lain tentang pewarisan kakek perempuan, beliau tidak sesegera mungkin mengambil keputusan. sebelum ia meyakini kualitas hadis dimaksud di atas.

Dalam kondisi tertentu, kadang-kadang suatu hadis tidak sampai kepada seorang mujtahid, maka dia berfatwa sesuai dengan lahiriyah ayat atau hadis lain atau dengan memakai qiyas pada masalah yang sudah pernah terdapat pada masa Rasulullah SAW. Terkadang pula dalam masalah yang sama, suatu hadis yang sampai kepada mujtahid yang lain. kemudian dia berfatwa sesuai dengan hadis tersebut maka akhirnya fatwa mereka berbeda.

Dari sisi lain, suatu hadis yang sampai pada seorang mujtahid, tetapi dia melihat di dalamnya ada illat (kausalitas hukum) yang menghalangi untuk mengikutinya, misalnya dia berkeyakinan bahwa hadis itu sanadnya tidak sah dan tidak sampai pada Rasulullah SAW. karena adanya orang yang tidak diketahui (majhul) atau hafalannya kurang cakap, atau karena hadis tersebut munqati’ atau mursal. Kemudian yang lainnya mengikuti hadis tersebut, karena memilih jalur hadis yang sahih. Namun yang lain tidak mengamalkan karena adanya ‘illat yang telah disebutkan. Hal ini menjadi penyebab perbedaan pendapat. Illat tersebut menunjukkan kehati-hatian dan ketelitian para sahabat Nabi, dalam mendeteksi kualitas suatu hadis sebelum mengamalkannya.

Oleh karena itu, ikhtilaf yang terjadi dalam kaitan ini, semata-mata bertujuan untuk pemeliharaan Sunnah Nabi sebagai sumber hukum kedua sesudah Alquran.

  1. Nas Alquran yang Bermakna Ganda (musytarak).

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami nas tentang maksud Allah dengan suatu lafal yang mengandung beberapa makna. Ulama menyadari bahwa yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT sendiri.

Lafal yang mengandung beberapa makna dikenal dengan t al-musytarak, yaitu suatu lafal yang pada dasarnya mengandung dua pengertian atau lebih, misalnya: lafal عين yang berarti mata, emas murni, pengawas, hamba sahaya dan lain-lain. Lafal musytarak  ini dapat terjadi pada isim (kata benda), seperti lafal عين ”.

Demikian juga lafal “qadha” dapat berarti: hakama atau menghukum ( Q.S. 4: 65). Juga berarti: kalimat “amrun wa hatmun” (mewajibkan), seperti dalam firman Allah dalam Q.S. 17: 23. Dan juga berarti: “a’lama” (memberitahukan) sebagaimana firman Allah Q.S. 17: 4

Apabila dalam ayat terdapat kata-kata yang tidak ada qarinah-nya (dalil yang jelas) maka masing-masing arti yang dikandung oleh kata tersebut mempunyai kemungkinan yang sama untuk dijadikan landasan maksud kata tersebut. Sebagai contoh konkrit, perbedaan pendapat ulama tentang kata “quru”, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 2: 228.: Ayat ini secara umum menjelaskan jumlah ‘iddah wanita haid yang tertalak. Perselisihan ulama mengenai hal ini adalah kata “quru’’ yang kemungkinannya berarti suci atau haid pada posisi yang bersamaan.

Ulama yang berpendapat bahwa kata “quru” berarti suci, alasannya karena ‘iddah wanita yang tertalak baru terhitung ketika ia suci. Dalam kondisi haid, ulama tidak mempermasalahkan bahwa ‘iddahnya belum terhitung. Pendapat ini sejalan dengan pendapat sebagian sahabat seperti: ‘Aisyah, Ibnu Umar dan Said bin Sabit serta Imam Syafi’ iy.

Pendapat lainnya. bahwa kata “quru” berarti haid, alasannya adalah Rasulullah pernah bersabda: Dari “Aisyah, ia berkata bahwa Fatimah binti Abu Hubaisyi mendatangi Rasul dan berkata, ya Rasulullah saya sedang mengalami darah istihadhah (darah penyakit) maka saya dalam keadaan tidak bersih. Kemudian Rasulullah bersabda darah itu adalah darah irqun, bukan darah haid. Apabila darah haid tiba, maka berhentilah salat, apabila selesai, (sesuai dengan kebiasaan waktu haid) maka mandilah dan bersihkan darah tersebut dan laksanakan salat. Bahwa wanita yang tertalak seharusnya menunggu sampai tiga kali haid dan bukan tiga kali suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.

Dari kedua pendapat di atas, penulis berasumsi bahwa walaupun ikhtilaf dalam memahami ayat tersebut tidak terhindarkan, namun kedua pendapat dapat difahami dan dimengerti keberadaannya. Pendapat pertama mengacu pada masa terhitungnya ‘iddah’ sedangkan pendapat kedua yaitu mengacu dari masa lamanya menunggu. Selain itu pula kata “quru” termasuk kategori lafal yang mengandung pengertian musytarak (lebih dari satu arti).

  1. Ta’ arudh al Adillah (Pertentangan Dalil)

Salah satu faktor penyebab ikhtilaf ialah adanya sejumlah nas yang tampaknya saling bententangan baik yang bersumber dari Al quran maupun Sunnah Nabi. Jika kita renungkan sejenak hakekat ta’arudh (pertentangan nas), dilihat dari nas yang dijadikan pijakan maka sebenarnya tidak ada pertentangan di antara nas karena keduanya bersumber dari Allah SWT (Q.S. 4: 82)

Berikut ini dikemukakan beberapa contoh yang berkaitan dengan ta’arudh al-’adillat (pertentangan nas), misalnya pernyataan sebagian ulama tentang batalnya wudhu dengan menyentuh zakar (alat kelamin). Imam Syafi’iy, Hambali, Ishak dan Malik berpendapat bahwa wudhunya batal. Nas yang dijadikan landasan adalah hadis yang bersumber dari Basrah binti Shafwan, sebagaimana berikut: “Bahwa Nabi SAW berkata: Barang siapa yang menyentuh alat kelaminnya, maka hendaklah ia berwudhu’ lebih dahulu sebelum salat.”[10]  Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis tersebut ialah: Umar, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas. Aisyah dan Saad bin Abi Waqqas.

Adapun Abu Hanifah berpendapat bahwa hal yang demikian itu tidak membatalkan wudhu. Beliau mengacu pada hadis Thalak bin Ali sebagai berikut: “Bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh alat kelaminnya ketika ia sedang sembahyang. Maka Nabi berkata tiadalah ia kecuali bagian dari engkau.” (HR. Tirmiziy).[11]  Sahabat yang mengikuti petunjuk hadis kedua ini, ialah: Ali, Umar. dan Ibnu Mas’ud. Tampaknya kedua kelompok yang bertentangan ini masing-masing memiliki alasan dan hujjah yang cukup kuat.

Penulis beranggapan bahwa walaupun kedua hadis tersebut, dari sisi lafal dan makna berbeda, ulama hadis telah membahas dan mengajukan alternatif-alternatif metode penyelesainnya. Penyelesaian dimaksud akan memberi petunjuk secara substantif sesungguhnya pertentangan dalam hadis tidak ada.[12]

  1. Kasus-Kasus Tertentu Yang Tidak Ada Nas-nya Secara Sharih.

Salah satu yang menjadi sebab adanya ikhtilaf di antara para ulama, yaitu adanya kasus-kasus tententu yang tidak tersebut nas-nya secara tekstual dalam Alquran dan Hadis. Jelasnya bahwa Rasulullah wafat, masih saja dijumpai sebagian kasus yang tidak mendapatkan tanggapan konkret atas kepastian hukumnya. Hal ini difahami, bahwa Alquran memang tidak menjelaskan suatu kasus secara terinci, petunjuknya turun secara mujmal (umum), muthlaq (pasti), mubham (tidak jelas) dan lain-lain. Dalam kaitan tersebut. peranan hadis sebagai bagian dari ijtihad Nabi, dan para sahabat besar dalam menjelaskannya, mendapat tempat tersendiri.

Kasus-kasus yang muncul kemudian cukup banyak, sedang nas Alquran dan Hadis yang menyangkut hukum begitu terbatas. Pada akhirnya ulama dalam mengantisipasi ketetapan hukum suatu kasus berbeda dan pada gilirannya terjadilah ikhtilaf dalam pemahaman dan penafsiran.

Kenyataan ini, terlihat pada priode Abu Bakar bahwa salah satu dari karakter beliau, bila diperhadapkan pada suatu kasus yang tidak ada nasnya secara jelas, ia tidak serta merta mengambil keputusan, tetapi ia menghimpun para pemuka dan kalangan sahabat dan fuqaha meminta saran dan pendapat, apabila beliau mendapat persetujuan maka dengan spontan mengambil keputusan.

Kenyataan lain yang muncul pada periodenya yaitu dipercayakannya Umar bin Khattab sebagai qadhi (hakim) khususnya dalam menangani perselisihan-perselisihan yang terjadi di kalangan umat Islam.[13] Hanya saja, Abu Bakar dalam menunjuk Umar sebagai qadhi tidaklah sepenuhnya wewenang itu dilimpahkan kepadanya. Yang jelas, pada periode Abu Bakar, Umar pernah diserahi sepenuhnya sebagai qadhi di Medinah. Demikianlah tradisi Abu Bakar dalam mengangkat dan menunjuk penguasa di setiap wilayah, selain ia sebagai penguasa pemerintahan juga sekaligus sebagai penguasa agama (‘Imamat) dan qadhi.[14]

Abu Bakar sangat membatasi diri dalam berijtihad. Hal ini disebabkan kekhawatiran beliau untuk terjebak pada kekhilafan dan kesalahan dalam menetapkan hukum. Abu Bakar misalnya, jika berfatwa dan mengeluarkan pendapatnya berkata, “demikianlah pendapatku, jika benar sesungguhnya dan Allah dan jika keliru. sesungguhnya dari aku sendiri dan aku istiqfar kepada Allah.[15]

Demikian juga halnya tradisi Umar, selain landasan utamanya adalah Alquran dan Sunnah Nabi, jika ia tidak mendapatkan jawaban pada keduanya, maka ia merujuk pada pengambilan keputusan Abu Bakar dan jika tidak ia dapatkan maka beliau meminta pertimbangan kepada tokoh- tokoh sahabat. Beliau tidak ada kesepakatan di antara mereka maka dengan spontan ia berijtihad.[16]

Di antara kasus-kasus hukum yang tidak terdapat nas-nya dalam Alquran dan Sunnah Nabi, maupun ijma’ ulama dan dalil-dalil mu’tabar lainnya seperti qiyas, antara lain:

  1. Kadar jaminan ganti rugi bagi binatang yang dilukai ataupun yang dicederai oleh orang lain yang bukan pemiliknya.
  2. Batas minimal masa menstruasi.
  3. Hukum mengawasi wanita yang masih dalam ‘iddah yang diyakini telah melakukan hubungan suami istri.
  4. Hukum Suami yang hilang tidak ada kabar beritanya dalam waktu tertentu., apa yang harus dilakukan oleh isterinya? apakah ia harus menunggu empat tahun, ataukah ber’iddah empat bulan sepuluh hari yaitu batas waktu ‘iddah wafat?
  5. Warisan wanita bertalak ba’in, yang penolakannya itu dilafazhkan pada waktu suaminya sedang menghadapi kematian (maradh al-maut).

Kasus-kasus seperti tersebut di atas, penetapan hukumnya disandarkan pada perkataan sahabat (qawl al- sahab’iy). Sebagian ulama cenderung untuk menjadikannya hujjah syara yang wajib dipedomani, dan oleh kebanyakan ulama menjadikannya hujjah syara’ atas dasar kredibilitas sahabat itu sendiri. Dengan demikian ikhtilaf ulama dalam masalah fikih khususnya menyangkut kasus-kasus yang tidak ada nas-nya, dapat dikatakan mengacu dari perbedaan pendapat ulama tentang qa’ul al-sahaby yang menjadikannya sebagai hujjah syara’.

Dalam analisis ini, penulis tidak menyebutkannya secara terinci, untuk mendapatkan gambaran lebih komprehensip ikhtilaf terhadap kasus-kasus di atas dapat dilihat pada sejumlah buku-buku “Muqaranat al-Mazahib fi Usul al-fiqh”.[17]

  1. Metode Ulama Dalam Mengatasi Ikhtiaf

Dimaksudkan ikhtilaf disini adalah terdapatnya dua buah nas atau lebih dari sisi makna tampaknya bertentangan, yang sebagian ulama berpendapat bahwa kesemuanya tidak mungkin diamalkan secara bersamaan. Oleh karena itu para ulama menempuh berbagai macam cara (jalan) di dalam mengkompromikan nas-nas tersebut.

Ayat-ayat Alquran dan Hadis sumbernya adalah dari Allah. Oleh karena itu tidak mungkin bertentangan di antara keduanya. Namun pada kenyataannya ada sejumlah nas (hadis) yang tampaknya tidak sejalan dan bertentangan dengan hadis lain ataupun dengan Alqur’an. Bila demikian halnya, maka pasti ada sesuatu yang melatarbelakanginya. Dalam kaitan tersebut, penulis dituntut untuk mampu rnenggunakan pendekatan-pendekatan yang sah dan tepat menurut yang dituntut oleh kandungan nas, yang bertentangan.

Dalam mengantisipasi kandungan nas misalnya, ulama tidak satu pendapat, sebagian ulama menyebutnya dengan mukhtaliful hadits, sebagian lagi menyebutnya dengan mukhtalafatul hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan al-ta’arudh.[18] Untuk menyelesaikan nas hadis yang tampak bertentangan tersebut, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama; ada yang menempuh satu cara ada pula yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:

  1. al-tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat);
  2. al-jam’u, yakni kedua hadits yang tampak bertentangan itu dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai dengan konteksnya.
  3. al-nasikh wa al-mansukh (petunjuk dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai penghapus sedang hadis yang satunya sebagai yang dihapus.
  4. al-tauqif (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan.[19]

Walaupun cara-cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena selain itu ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara al-jam’u, dan al-taufiq, sepanjang cara itu dapat diterapkan, juga untuk cara penye1esaian yang diberi istilah yang berbeda, ternyata hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.

Keempat tahap metode penyelesaian dalam mengatasi ikhtilaf al-adillat sebagaimana telah dikemukakan di atas ialah (1) al-jam’u; (2) al-nasih wa a-mansukh; (3) al-tarjih dan (4) al-taufiq. Cara yang disebutkan terakhir perlu ditempuh oleh penulis bila ternyata ketiga cara yang disebutkan terdahulu tidak dapat diselesaikan. Dengan menempuh cara al-taufiq seseorang akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan yang keliru.

Tentang metode al-jam’u dan al-tarjih, hemat penulis termasuk masalah yang cukup rumit dalam ilmu fikih, sebab sebelum di-jama’ atau di-tarjih diperlukan pemahaman dan penghayatan yang mendalam terhadap nas. Sebagian besar nas yang seharusnya dapat dikompromikan tetapi karena kedangkalan pemahaman dan penghayatan terhadap nas. maka sebagian penulis hanya menempuh penyelesaian salah satu dari keduanya saja.

  1. Etika Berebeda Pendapat (Adabul Ikhtilaf)

Islam telah meletakkan sendi-sendi adab yang tinggi bagi seorang muslim dalam pergaulannya bersama saudara-saudaranya ketika berselisih faham dengan mereka dalam masalah-masalah ijtihadiyah. Nabi SAW bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq-akhlaq yang mulia”.[20]

Etika berselisih pendapat merupakan permasalahan yang sangat urgen dan harus dipahami oleh setiap muslim sebagai upaya menekan potensi konflik dikalangan umat islam. Umat islam bisa mengalami kemunduran  tatkala tidak melakukan manajemen konflik. Maka, umat Islam, mesti benar-benar memahami bagaimana “etika berbeda” dengan sesama muslim dengan mengedepankan etika sebagai berikut:

 

  • Ikhlas dalam menyatakan pendapat kita.

Yusuf al Qaradhawi berkata: “Kita mengetahui bahwa niat yang ikhlas saja tidak cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syara’ dan sunah, sebagaimana amal yang sesuai syara’ juga tidak mencapai derajat diterima, selama di dalamnya tidak ada ikhlas dan tajarrud (dedikasi) hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla semata.”[21]

قال الفضيل بن عياض رحمه الله  :”إن العمل إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يقبل وإذا كان صواباً ولم يكن خالصاً لم يقبل حتى يكون خالصاً صواباً والخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة”.

Fudhail bin ‘Iyadh Rahimahullah: “Sesungguhnya amal itu jika ikhlas tapi tidak benar tidak akan Allah terima, jika benar tapi tidsk benar, juga tidak diterima. Sampai amal itu ikhlas dan benar. Ikhlas itu menjadikan amal hanya untuk Allah, dan benar itu aml yang sejalan dengan sunnah”.[22]

  • Menyadari bahwa perbedaan adalah kehendak Allah Ta’ala

Allah ﷻ berfirman:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ (118) إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (119)

“Dan seandainya Tuhanmu kehendaki, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu, dan untuk itulah Dia menciptakan mereka” (QS. Hud: 118-119)

Ayat ini menerangkan salah satu masyiah (kehendak) Allah, yaitu Dia ciptakan perbedaan di antara manusia. Baik perbedaan bahasa, warna kulit, watak, suku bangsa, agama, kebiasaan, pemahaman, madzhab pemikiran, dan sebagainya. Seandainya Allah ﷻ  berkehendak tentu  mudah saja Dia jadikan  manusia sebagai umat yang satu.

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

ولا يزال الخُلْفُ بين الناس في أديانهم واعتقادات مللهم ونحلهم ومذاهبهم وآرائهم.

“Akan terus terjadi perselisihan manusia terkait agama mereka, keyakinan, millah, ajaran, madzhab, dan pendapat mereka.[23]

Maka, hakikat ini menunjukkan bahwa pemaksaan manusia atas manusia lainnya untuk mengikuti pemahaman, selera, pendapat fiqih, dan semisalnya, lalu tidak bertoleransi terhadap perbedaan tersebut, merupakan wujud pertentangan terhadap sunatullah dan prinsip da’wah Islam yang berdiri tanpa paksaan. Allah ﷻ berfirman:

أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

 “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia, supaya mereka menjadi orang-orang  beriman semuanya ?” (QS. Yunus: 99)

Umar bin Abdul Aziz  berpandangan:

ما يسرني أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يختلفوا ، لأنهم لو لم يختلفوا لم يكن لنا رخصة.

“Tidaklah membahagiakanku kalau para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, karena jika mereka tidak berbeda, maka bagi kita tidak ada rukhshah (keringanan/kemudahan).”[24] (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, hal. 38. Mauqi’ Al Islam)

Ibnu Taimiyah berpendapat:

لِأَن هُمْ إذَا اجْتَمَعُوا عَلَى قَوْلٍ فَخَالَفَهُمْ رَجُلٌ كَانَ ضَالًّا وَإِذَا اخْتَلَفُوا فَأَخَذَ رَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا وَرَجُلٌ بِقَوْلِ هَذَا كَانَ فِي الْأَمْرِ سَعَةٌ

“Karena jika  mereka  bersepakat atas suatu pendapat, maka orang yang  berselisih dengan mereka akan tersesat. Namun jika mereka berbeda pendpat, lalu ada orang yang mengambil pendapat ini, ada orang lain yang mengambil pendapat yang lain. Maka ini adalah urusan yang sangat luas.”[25]

Seandainya sahabat selalu sepakat (berijma’) dalam segala hal, maka tidak ada celah bagi generasi selanjutnya untuk berfikir dan berpendapat sesuai sesuai zamannya dan itulaj contoh pemikiran dinamis dari mereka untuki generasi selanjutnya.

 

 

  • Tasamuh dalam Ikhtilaf Tanawwu’ dan tegas dalam Ikhtilaf Tadhadh

Macam-macam perbedaan:

  1. Ikhtilaf Tanawwu’, perselisihan variatif, yaitu perbedaan dalam masalah cabang-cabang agama, atau rincian kaifiyat ibadah.

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”[26] (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)

Dr. Umar bin Abdillah Kamil berkata:

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم. ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.”[27]

Imam An Nawawi memiliki pandangan terperinci dalam menyikapi perbedaan teologis:

وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ. ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ.  وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ. وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ

“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana (harus mentolelir). Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih oleh mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.”[28] (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Ketika membahas kaidah-kaidah syariat, Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:

الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.”[29]

“Pokok-pokok dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ adalah seperti kedudukan agama yang dimiliki oleh para nabi. Tidak seorangpun yang boleh keluar darinya, dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya maka ia tergolong kepada ahli Islam yang murni dan mereka adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun bervariasinya amal dan perkataan dalam syariat adalah seperti keragaman syariat diantara masing-masing Nabi. Perbedaan ini terkadang bisa pada perkara yang wajib, terkadang bisa juga pada perkara yang sunnah.” Beliau Rahimahullah berkata: “Sesungguhnya masalah-masalah rinci dalam perkara ushul tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halny tentu tidak mungkin para sahabat, tabi’in, dan kaum salaf berselisih.”[30]

Katanya lagi: “Ketika perluasan aktifitas dan penganekaragaman furu’nya semakin dituntut maka sebagai akibatnya adalah munculnya perselisihan pendapat sesuai yang cocok jiwa masing-masing pembelanya.”[31] Ia juga berkata: “Adapun manusia yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai ijtihadnya. Sebagaimana perbedaan mana yang lebih afdhal antara adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad (dibaca sekali) atau itsna (dibaca dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut subuh atau tidak, bismillah dikeraskan atau dipelankan, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperselisihkan para imam-imam salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain.”[32]

Ibnu Taimiyah juga berbicara terkait perselisihan penentuan masalah yang qath’I dan tidak qath’I, dia mengatakan: “Sedangkan perkataan dan amal yang tidak diketahui secara pasti (qath’i) bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun termasuk lingkup perbincangan ijtihad para ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qath’i oleh sebagian yang lain yang telah mendapat cahaya petunjuk dari Allah Ta’ala. Namun demikian dia tidak boleh memaksakan pendapatnya itu kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang dia inginkan itu.” [33], dan  “Sesungguhnya perbedaan mengenai pendalilan dari sebuah lafal dan penetapan salah satunya itu bagaikan samudera yang luas.”[34]

  1. Ikhtilaf Tadhdhadh

Ikhtilaf Tadhadh adalah perselisihan dalam perkara ushuluddin  (dasar-dasar agama) seperti masalah ketuhanan, kenabian, al quran, rukun Islam, rukun Iman, syahadat  dan yang semisalnya, maka ini perbedaan dalam hal ini sebaiknya tidak ada dan   mesti disikapi tegas, kembali ke jalan yang benar, seperti keyakinan Ahmadiyah, Inkar sunnah, Rafidhah, dan semisalnya .

  • Lapang Dada dan Adil Dalam Menerima Kritik,

Penolakan kita terhadap kritik dan kemarahan kita karena pembelaan terhadap diri adalah adalah perwujudan ketakaburan kita:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. [Hadits Riwayat Muslim]

Banyak sekali contoh sekitar adab yang mulia ini yang telah dijelaskan oleh para salafus shalih, dianaaranya adalah :

Kisah yang diceritakan oleh al-Hafizh Ibnu Abdil Bar, beliau berkata : “Banyak orang telah membawa berita kepada saya, berasal dari Abu Muhammad Qasim bin Ashbagh, dia berkata : “Ketika saya melakukan perjalanan ke daerah timur, saya singgah di Qairawan. Disana saya mempelajari hadits Musaddad dari Bakr bin Hammad. Kemudian saya melakukan perjalanan ke Baghdad dan saya temui banyak orang (Ulama) disana. Ketika saya pergi (dari Baghdad), saya kembali lagi kepada Bakr bin Hammad (di Qairawan-red) untuk menyempurnakan belajar hadits Musaddad. Suatu hari saya membacakan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapan beliau (untuk mempelajarinya) : “Artinya : Sungguh telah datang satu kaum dari Muldar yang (Mujtaabin Nimar)” Beliau (Bakr bin Hammad) berkata kepadaku “Sesungguhnya yang benar adalah Mujtabits Tsimar. Aku katakan padanya Mujtaabin Nimar, demikianlah aku membacanya setiap kali aku membacakannya di hadapan setiap orang yang aku temui di Andalusia dan Irak” Beliau berkata kepadaku : “Karena engkau pergi ke Irak, maka kini engkau (berani) menentang aku dan menyombongkan diri dihadapanku ?” Kemudian dia berkata kepadaku (lagi) : “Ayolah kita bersama-sama bertanya kepada syaikh itu (menunjuk seorang syaikh yang berada di Masjid), dia punya ilmu dalam hal seperti ini” Kami pun pergi ke syaikh tersebut dan kami bertanya tentang hal ini. Beliau berkata:  “Sesungguhnya yang benar adalah [Mujtaabin Nimar]” seperti yang aku baca. Artinya adalah : Orang-orang yang memakai pakaian, bagian depannya terbelah, kerah bajunya ada di depan. Nimar adalah bentuk jama’ dari Namrah. Bakr bin Hammad berkata sambil memegangi hidungnya: “Aku tunduk kepada al-haq, aku tunduk kepada al-haq !”[35] lalu ia pergi.

  • Memilih Bahasa Yang santun dalam

Allah berfirman.

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا

“Serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia” [Al-Baqarah/2 : 83]

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِيءَ

“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin pada hari kiamat dibanding akhlaq yang baik, dan sesungguhnya Allah murka kepada orang yang keji dan jelek (akhlaqnya)”. [Hadits Riwayat Tirmidzi].

Al-Hafizh Ibnu Abdil Bar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya yang berkata : “Saya telah mendengar Al-Ashma’i berkata : “Abdullah bin Hasan berkata : Adu mulut akan merusak persahabatan yang lama, dan mencerai beraikan ikatan (persaudaraan) yang kuat, minimal (adu mulut) akan menjadikan mughalabah (keinginan untuk saling mengalahkan) dan mughalabah adalah sebab terkuat putusnya ikatan persaudaraan.[36]

  1. Beberapa Contoh Sikap Bijak Para Ulama Ketiaka Berselisih:
  2. Sikap Bijak Yahya bin Ma’in:

Imam Adz Dzahabi  Rahimahullah berkata tentang Yahya bin Ma’in:

قال ابن الجنيد: وسمعت يحيى، يقول: تحريم النبيذ صحيح، ولكن أقف، ولا أحرمه، قد شربه قوم صالحون بأحاديث صحاح، وحرمه قوم صالحون بأحاديث صحاح.

Berkata Ibnu Al Junaid:  “Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata: “Pengharaman nabidz (air perasan anggur) adalah benar, tetapi saya tidak berkomentar, dan aku tidak mengharamkannya. Segolongan orang shalih telah meminumnya dengan alasan hadits-hadits shahih, dan segolongan orang shalih lainnya mengharamkannya dengan dalil hadits-hadits yang shahih pula.”[37]

  1. Sikap Bijak Imam Ahmad

Imam Ahmad bin Hambal menceritakan tentang shalat sunah setelah Ashar, beliau berkata:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.[38]

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.

“Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”[39]

Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat subuh, maka itu bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.”[40]

  1. Penutup
  2. Faktor penyebab ikhtilaf dalam masalah furu’.dapat berupa perbedaan qira’at, perbedaan penalaran atau menetapkan dan menilai suatu hadis, lafadz Alqur’an yang bermakna ganda, adanya sejumlah nas yang saling bertentangan (ta’arudh) dan Adanya kasus-kasus tertentu yang tidak ada nas-nya secara .
  3. Ikhtilaf yang telah terjadi di kalangan umat terdahulu merupakan bagian dari kenyataan alamiyah hidup ini. Oleh karenanya untuk dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat, ikhtilaf harus memiliki ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1.) Jika niatnya jujur.orang yang bersangkutan memiliki tanggung jawab bersama, 2.) Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan membuka cakrawala berpikir.3.) Memberikan kesempatan berbicara kepasa lawan bicara dan bermuamalat dengan manusia lainnya sesuai dengan tingkat penghayatan, pemahaman dan pengalamannya dalam melihat realitas hidup di lingkungannya.
  4. Metode Solusi yang telah diberikan oleh para ulama kita dalam penyelesaian Ikhtilaf dalam bidang furu’ meliputi: 1) al-jam’u; 2) al-nasih wa a-mansukh; 3) al-tarjih dan 4) al-taufiq.
  5. Etika berebeda pendapat (Adabul Ikhtilaf) adalah diantaranya sebagai berikut: Ikhlas dalam menyatakan pendapat kita, menyadari bahwa perbedaan adalah kehendak Allah Ta’ala, tasamuh dalam Ikhtilaf tanawwu’ dan tegas dalam ikhtilaf tadhadh, lapang dada dan adil dalam menerima kritik dan memilih bahasa yang santun dalam

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

al-Qur’an al-Karim

al-Dalawy, Waliy Allah Abd Rahim, Hujjah Allah al-Balighat, (Beirut: Dar al-Ma’arifat, tth,

Ibnu Rusyd, Bidayaht al-Mujtahid, penerjemah M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah dengan judul Bidayat ‘l-Mujtahid, Semarang: Penerbit Asy-Syia’, I, 1990

Ibnu Taimiyat , “Raf’u al-Malam ‘an al-A’Immat al-A’lam” dan al-Syekh al-Ustaz Ali al-Khafif dengan judul: “Muhadharat fi Asbab ikhtilaf al-Fuqaha tt:ttp

Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam persfektif Fikih Islam (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fikih pada fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, senin tanggal 31 Mei 2004.

…………….,Ikhtilaf Ulama Suni dan Pengaruhnya terhadap perkembangan Fikih Islam (Abad Kedua & ketiga Hijriah), Disertasi, pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.

Mustafa Said al Khan, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-usuliyyat fi ikhtilaf al-Fuqaha, Muassat al-Risalat . 1981

al-Mughirah, Muhamad bin Ismail bin Ibrahim bin, Shahih al-Bukhariy, Mishr: Al-Mathba’at Ali Shubaih, t.th.

Musyarrafat,‘Athiyyat Musthafa, al-Qadha fi al-Islam, Mishr: Mathabi’ Dar al-Qad, 1966

  1. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Makalah disajikan dalam seminar yang diadakan oleh Dirasah Ulya Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam di Medan Sumatra Utara , 1991

al-Nawawy, Shahih Muslim bi syarh,Shaih Muslim (Mishr: Al-Mathaba’at al-Mishriyyat, VI, 1924

al-Suyuthiy, Abu Abd Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahrain al-Nasa’iy, Syarh Jalaluddin, Sunan al-Nasa’iy, Beirut: Dar al-Fikriy,VI

‘Adabul Mufrad’ dan Imam Ahmad. Lihat ‘Silsilah Ash-shahihah

Yusuf al Qaradhawy, Hawla Rukn al Ikhlash. Dar at Tauzi’ wa an Nasyr al Islamiyah

Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra

Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa

Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’

Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf,. Mauqi’ Al Islam

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim. Mawqi’ Ruh Al Islam

As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair

Mukhtasyar Jaami’ Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani

Mukhtasyar Jaami’ Bayan al-Ilmi wa Fadlihi .

Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11,. Mu’asasah ar Risalah, Beirut-Libanon. Cet.9, 1993M-1413H)

Al Mughni dan  Syarhul Kabir

Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’

 

[1] Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2015-2020, Dosen IAIN Surakarta.

[2] Terdapat berbagai istilah yang memiliki konotasi semakna yaitu Ikhtilaf, khilafdan Khilafiyah yang menurut bahasa ialah perbedaan pendapat, pemikiran, warna, jenis, yang berkonotasi kepada perubahan.Sedangkan menurut istilah perbedaan pendapat para ulama khususnya ahli fikih tentang suatu masalah furu’yang tidak mempunyai dalil yang qat’i. Akan tetapi istilah Khilaf dan Khilafiyah lebih berkonotasi pada pertentangan dan perselisihan. Lihat Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Suni dan Pengaruhnya terhadap perkembangan Fikih Islam (Abad Kedua & ketiga Hijriah), Disertasi, pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002, h.23-24 Lihat juga Minhajuddin, Pengembangan Metode Ijtihad dalam persfektif Fikih Islam (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fikih pada fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, senin tanggal 31 Mei 2004, h. 5.

[3] Thoha Jabir Fayyadh al-Ulwany, adab al-Ikhtilaf fi al-Islam, diterjemahkan oleh Abu Fahmi dengan judul Beda pendapat , bagaimana menurut Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1991) h. 30

[4] Ibid, h. 50

 

[5] Lihat Mustafa Said al Khan, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-ushuliyyat fi ikhtilaf al-Fuqaha, (Muassat al-Risalat . 1981) h. 36-37. Bandingkan dengan Waliy Allah Abd Rahim Al-Dalawy,Hujjah Allah al-Balighat, (Beirut: Dar al-Ma’arifat, tth,) h. 141

[6] Ulama telah menulis tentang Iktilaf, ialah : Al-Syekh Abdullah bin Muhammad bin al-Sayyed al-Batvliusiy al-Andalusiy (W 521 H). Bukunya adalah: al-Inshaf fi alTanbih ala asbab al-Khilaf demikian juga halnya ibnu Taimiyat dalam bukunya “Raf’ual-Malam ‘an al-A’Immat al-A’lam” dan al-Syekh al-Ustaz Ali al-Khafif dengan judul : “Muhadharat fi Asbab ikhtilaf al-Fuqaha(tt:ttp) h. 131.

[7] Lihat ibid, h.1

[8] Ibid,

[9]  Lihat Ibnu Rusyd, Bidayaht al-Mujtahid, penerjemah M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah dengan judul Bidayat ‘l-Mujtahid,(Semarang: Penerbit Asy-Syia’, I, 1990) h. 15.

[10] Al-Nasa’iy, op cit h. 100

[11]  Imam Abi Isa Muhammad bin Surat al-Tirmiziy,, Sunan al-Tirmiziy, (Indonesia, Maktabat Dahlan, I. 1384 H) h. 56-57

[12] Ulama yang cukup berjasa menulis tentang hadis yang kelihatannya bertentangan ialah Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaybat yang telah mengarang buku yang berjudul Ta’wil Mukhtalaful hadist, dan Muhammad bin Idris al-Syafi’iy dalam bukunya ikhtilaf al-Hadist yang disatuan dengan bukunya al-umm. Anwar Sadat Ikhtilaf di Kalangan Ulama Al-Mujtahidin

 

[13] Lihat Mustafa Said, op cit, h. 110. Lihat juga ‘Athiyyat Mustafa Musyarrafat, al-Qadha fi al-Islam, (Mishr: Mathabi’ Dar al-Qad, 1966) h. 93.

[14]  Ibid

[15]  Ibid, h. 48

[16]  Ibid, h. 98

[17] Kitab-kitab yang dimaksud di atas adalah: “al-Mugniy”, oleh ibn Qudamah, jilid VIII, h. 84-85; bidayat al Mujtahid” oleh Ibn Rusyd, jilid II, h 323; al-Umm oleh Imam Syafi’iy, jilid I h. 55, jilid V, h. 215-235 dan 236.

[18] Lihat M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Makalah disajikan dalam seminar yang diadakan oleh Dirasah Ulya Pendidikan Tinggi Purna Sarjana Agama Islam di Medan Sumatra Utara , 1991, h. 168.

[19] Ibid, 169-171.

[20] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad’ dan Imam Ahmad. Lihat ‘Silsilah Ash-shahihah 15

[21] Yusuf al Qaradhawy, Hawla Rukn al Ikhlash, hal. 12. 1993M. Dar at Tauzi’ wa an Nasyr al Islamiyah

[22] Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 2/46)

[23] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 4/361

[24] Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Ibid, hal. 38. Mauqi’ Al Islam

[25] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa, 30/80

[26] Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133

[27] Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam

[28] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,  1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam

[29] As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285

[30] Ibnu Taimiyah, Majmu’ Al Fatawa,  6/ 56

[31] Ibnu Taimiyah, Ibid, 6/58

[32] Ibnu Taimiyah, Ibid, Juz, 20./292

[33] Ibnu Taimiyah, Ibid, 1/383-384

[34] Ibnu Taimiyah, Raf’ul Malam, hal. 25

[35] Mukhtasyar Jaami’ Bayanil Ilmi wa Fadlihi, hal.123 yang diringkas oleh Syaikh Ahmad bin Umar al-Mahmashaani

[36] Mukhtasyar Jaami’ Bayan al-Ilmi wa Fadlihi hal. 278

[37] Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, Juz. 11, Hal. 88

[38] Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802

[39] Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam

[40] Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker