Hak Asasi Manusia (HAM)

 

HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM PERSPEKSTIF ISLAM

Dr. Sofyan Anif

Wakil Bendahara Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

& Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

                    

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor  39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pasal 1 disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan harkat dan martabat manusia.

Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman perilaku melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia untuk memperolah harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi memilikii makna “yang paling mendasar” yang dimiliki manusia sebagai fitrah, sehingga tidak satupun makhluk yang dapat mengintervensinya (Nasution & Effendi, 1987).

Pengertian HAM menurut komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights, United Nation sebagaimana yang dikemukakan oleh Jan Materson yang dikutip oleh Baharuddin Lopa bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak tersebut mustahil manusia dapat hidup sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang langsung diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat kodrati (Hadiansyah, 2011)

Setiap manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus memahami terlebih dahulu hak-hak dasar yang melekat pada dirinya seperti kebebasan, persamaan hak, perlindungan, keadilan, dan lain sebagainya. Tanpa memahami hak-hak tersebut, seorang warga negara kurang dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai warga negara maupun sebagai khalifah di muka bumi. Rendahnya tingkat pendidikan atau sistem sosial politik dan budaya di suatu tempat yang kurang kondusif menjadi penyebab rendahnya pemahaman akan hak-hak kemanusiaan (HAM) yang melekat pada diri setiap manusia, sehingga menjadi sasaran korban atas pelanggaran HAM oleh orang atau institusi lain.

Masalah HAM sekarang ini menjadi bahan pembicaraan banyak kalangan, terutama oleh kelompok masyarakat yang concern memperjuangkan keadilan dan kemanusian yang menjadi bagian penting dalam ranah HAM tersebut. Masalah HAM ini semakin ramai dibicarakan terutama dimulai pada era reformasi, yang didasarkan pada berbagai masalah HAM yang muncul terutama dalam menyikapi fenomena terorisme baik yang terjadi di Indonesia maupun di negara lain.

Munculnya permasalahan HAM yang semakin gencar tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan standar konsep HAM yang digunakan sehingga menimbulkan perbedaan persepsi dan implementasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara,  termasuk dalam merespon kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran HAM.

Kita sebagai warga negara Indonesia yang mayoritas beragama Islam, pada umumnya mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat. Hal tersebut dikarenakan pola pendidikan kita yang cenderung ala Barat dan telah berkembang semenjak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang.

Berdasarkan sejarah munculnya konsep HAM, secara normatif nilai-nilai HAM dirumuskan oleh PBB dalam sebuah deklarasi yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal (Universal Declaration of Human Rights)  pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini disepakati oleh 48 negara dan dimaksudkan untuk menjadi standar umum yang universal dari hak asasi manusia bagi seluruh negara di dunia. Deklarasi ini menyebutkan seluruh hak dan kebebasan yang dapat dinikmati oleh setiap individu tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik, asal-usul kebangsaan atau sosial, status kekayaan, kelahiran, dan status lainnya.

Dalam deklarasi HAM Universal terdapat 30 pasal yang secara umum pasal-pasal tersebut mengatur hak-hak yang menjunjung tinggi martabat manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat suatu bangsa maupun masyarakat internasional. Nilai-nilai dalam pasal-pasal HAM  tersebut bersifat universal yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama, dan perbedaan lainnya yang dalam konteks ajaran Islam diakui sebagai sunnatullah. Islam sangat mengajarkan penghormatan, keadilan dan kerjasama yang merupakan elemen-elemen penting dalam HAM. Nilai elemen-elemen tersebut terdapat dalam syariah yang bersumber pada Qur’an dan Hadis. Qur’an tidak spesifik berbicara tentang HAM, tetapi Qur’an lebih bicara pada tataran prinsip nilai keadilan, persamaan hak, musyawarah, kejujuran, kemanusiaan, tolong menolong, menentang diskriminasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam HAM merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga secara prinsipal tidak ada masalah.

Islam sebagai agama yang universal dan komprehensif di dalamnya mengandung konsep aqidah, ibadah, dan muamalah, yang masing-masing memuat ajaran keimanan. Aqidah, ibadah, dan muamalah juga mencakup dimensi ajaran yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syari’at atau fikih.  Menurut Abu A’Ala Al-Maududi, di dalam ajaran Islam terdapat dua (2) konsep tentang hak, yaitu hak manusia atau huquq al-insan al-dhururiyyah, dan hak Allah atau huquq Allah. Kedua hak tersebut bersifat komprehensif,  tidak bisa dipisahkan. Dan inilah yang menjadi perbedaan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM menurut perspektif  Barat. Di satu sisi HAM perspektif  Barat bersifat parsial, tidak ada hubungannya dengan hak Allah, sementara itu HAM menurut perspektif Islam antara hak asasi manusia dengan hak Allah adalah berkaitan, holistik dan komprehensif.

Inti dari HAM adalah egalitarianisme, demokrasi, persamaan hak di depan hukum, keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Artinya, inti HAM adalah persamaan hak (keadilan) dan mengakui perbedaan. Tentang perbedaan dalam pandangan Islam itu adalah kehendak Allah, oleh karena itu segala upaya yang memaksa manusia itu sama, tidak ada perbedaan (satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu orientasi politik) adalah merupakan penyangkalan terhadap sunnatullah. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surah Yunus: 99:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَن فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا  أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus:99)

Perbedaan  HAM Menurut Perspektif Islam dan Barat

Perbedaan yang cukup mendasar antara konsep HAM menurut perspektif Islam dan HAM dalam perspektif  Barat adalah sumber nilai yang digunakan.  HAM dalam Islam bersumber pada  wahyu Ilahiyah yang memberikan tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk mengelola alam semesta ini sehingga manusia dapat memanfaatkan seluruh sumber daya alam yang ada untuk mencapai kesejahteraannya, termasuk untuk mencapai hak akan harkat dan martabatya. Hal inilah yang mendasari bahwa Islam adalah agama yang dapat membawa Rahmatan lil ‘alamin.

Sementara, HAM menurut pandangan Barat, lebih didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian menjadi konsensus bersama untuk dijadikan hukum dalam memperjuangkan, menegakkan, dan melindungi hak-hak kemanusiaan yang berada dalam setiap warga negara. Meskipun, hak-hak kemanusian tersebut juga menjadi komitmen besar yang ada dalam wahyu Ilahiyah, namun HAM pandangan Barat sama sekali terlepas dari nilai-nilai agama.

Dalam perkembangannya, perbedaan konsep HAM tersebut di atas telah menimbulkan perbedaan cara pandang terhadap konsep HAM itu sendiri. Di dunia Barat, umumnya dalam memberikan perhatian kepada individu-individu di dasarkan pada nilai yang menjadi konsensus bersama dan menjadi hukum-hukum negara atau sejumlah otoritas untuk tercapainya aturan-aturan publik sehingga harus ditegakkan. Cara pandang HAM yang semata-mata didasarkan pada nilai kepentingan individu inilah yang dinamakan anthroposentris, dimana manusia merupakan ukuran terhadap gejala tertentu. Cara pandang yang  anthroposentris tersebut, akan menimbulkan nilai-nilai utama dari kebudayaan Barat seperti demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteran ekonomi sebagai perangkat yang mendukung tegaknya HAM itu hanya berorientasi pada penghargaan terhadap manusia. Dengan demikian, manusia menjadi tujuan akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.

Sedangkan HAM dalam padangan Islam lebih bersifat theosentris, yang mengedepankan nilai pengabdian kepada Al-Kholiq, Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, sehingga manusia hanya bertugas untuk mengabdi kepada-Nya. Cara pandang seperti ini akan menimbulkan kesadaran penuh dalam diri manusia yang beriman kepada Allah SWT unuk melaksanakan larangan dan perintah-perintah-Nya semata-mata sebagai bentuk kepatuhannya kepada Sang Pencita. Mengakui hak-hak kemanusiaan, menciptakan perdamaian, membangun keadilan, saling tolong menolong menghargai persamaan hak tanpa melihat perbedaan ras, agama, warna kulit, status sosial ekonomi adalah sebagai sebuah kewajiban yang harus djalankan sebagai bentuk kepatuhannya kepada Allah SWT. Dengan demikian, melaksanakan HAM menurut konsep Islam, tidak hanya sekedar melaksanakan kepatuhan atas kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

HAM dalam Islam

Berdasarkan syariat Islam, manusia adalah makhluk Tuhan yang diberi tugas dan tanggung jawab, oleh karena itu manusia mempunyai hak dan kebebasan. Manusia dalam menjalankan kebebasan harus di dasarkan pada nilai keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa melihat perbedaan ras, agama, warna kulit, golongan, status sosial ekonomi, dan lain sebagainya. Dalam ajaran Islam, manusia ditempatkan sebagai makhluk yang memiliki kemuliaan dan keutamaan serta mempunyai harkat dan martabat yang tinggi. Pernyataan ini tersirat dalam Surah Al-Isra’ ayat 70:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (QS. Al-Isra’:70).

Ada beberapa nilai yang menjadi prinsip dasar dalam HAM menurut pandangan Islam, yaitu  (1) persamaan hak,  (2) kebebasan, dan (3) penghormatan terhadap sesama manusia (Delizar Putra, 1995). Persamaan hak, artinya bahwa Islam memandang semua manusia sama dan memiliki kedudukan yang sama, dan tingkat kemuliaan yang dicapai hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujurat:13).

Prinsip kedua tentang kebebasan, bahwa Islam memberikan semangat tinggi untuk menjunjung nilai kebebasan, bahkan  memberi jaminan pada kebebasan manusia agar terhindar dari tekanan dan paksaan baik yang berhubungan dengan agama, politik, dan idiologi. Namun kebebasan yang dimaksud bukan kebebasan dalam arti mutlak tetapi dalam kebebasan tersebut mengandung makna hak dan kepentingan orang lain juga harus dihormati.

Prinsip ketiga adalah penghormatan terhadap manusia lain, yang artinya bahwa semua manusia dalam Islam berhak mendapatkan kehormatan yang sama. Semangat memberikan kehormatan atas sesama dilakukan berdasarkan prinsip solidaritas persamaan secara mutlak. Semua manusia adalah keturunan Adam, jika Adam tercipta dari tanah dan mendapat kehormatan disisi Allah, maka seluruh anak cucu Adam juga mendapat kehormatan yang sama, tanpa melihat perbedaan ras, agama, warna kulit, golongan, status sosial ekonomi, dan lain-lain.

Selain tiga prinsip nilai HAM dalam pandangan Islam di atas, ada tiga lagi prinsip yang harus dihormati seara universal. Tiga prinsip nilai tersebut adalah (1) Hak untuk hidup atau Hifdzu al-nafs wa al-ird (Q.S. Al-An’am: 151), (2) Hak memperoleh keadilan atau Hifdzu al-nasl (Q.S. al-Maidah: 2), dan (3) Hak perlindungan harta atau Hifdzu al-mal (Q.S. Al-Baqarah: 188).

Dalam sejarah peradaban Islam, sebenarnya prinsip-prinsip HAM telah diimplementasikan oleh Rasulullah Muhammad SAW pada saat kepemimpinan beliau di kota Madinah Al-Munawaroh. Di samping sebagai Rasul, Muhammad juga sebagai kepala negara yang penduduknya cukup heterogen, terdiri dari banyak suku, bahkan tidak saja muslim tetapi juga non muslim (kaum kafir). Dalam rangka mempesatukan penduduk yang plural tersebut diperlukan adanya suatu konsensus/kesepakatan bersama yang semua pihak diwajibkan tunduk pada konsensus tersebut.

Prinsip-prinsip HAM seperti keadilan, kebebasan beragama, persamaan derajat tanpa diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin, warna kulit, agama telah menjadi konsensus bersama meski nilai-nilai yang menjadi prinsip tersebut bersumber dari Al-Qur’an. Dalam perkembangan berikutnya, prinsip-prinsip HAM tersebut mengalami perkembangan secara konsisten dan komprehensif, yang kemudian menghasilkan ilmu fiqih dan teologia yang oleh para ulama dan sarjana Islam mulai dipertentangkan antara perbedaan HAM perspektif Barat dan HAM Islam. Di sinilah menjadi titik tonggak awal penolakan terhadap HAM universal yang diangap bias dan memiliki kepentingan Barat. Bersamaan dengan itu, kemudian diajukan prinsip HAM versi Islam dan merupakan formulasi paling modern yaitu “Al-Bayan al-alami’an huquq al-insan fil Islam” atau deklarasi internasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia dalam Islam, yang dideklarasikan pada tahun 1981 di Paris (Luqman Hakim, 1993)

Islam sebagai agama samawi, telah meletakkan dasar-dasar teologia yang berhasil dilaksanakan oleh Nabi, sehingga dalam masa yang cukup singkat Nabi Muhammad telah mampu membangun pengalaman sosial yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Penerapan prinsip-prinsip HAM dalam pluralisme agama, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW memberikan bimbingan dan teladan kepada para pengikutya, mulai dari kehidupan berkeluarga hingga kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan negara yang pertama kali didirikan oleh Nabi dan pengikutnya di Madinah adalah sebuah negara dengan keragaman suku dan agama.

Islam sebagai agama Samawi telah menyadari sepenuhnya bahwa mengakui perbedaan adalah sikap yang terpuji. Hal ini dtegaskan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 272:

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ ۗ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ ۚ وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan) (QS. Al-Baqarah:272).

Di samping itu, sikap menghargai perbedaan juga ditegaskan Allah SWT dalam Surah Al-Kafirun ayat 1-6.

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ (4) وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

 (1) Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, (3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, (4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, (6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (QS. Al-Kafirun:1-6).

Ayat 272 Surah Al-Baqarah dan Surah Al-Kafirun ayat 1 – 6 di atas merupakan prinsip HAM dalam beragama dan dalam menghormati perbedaan. Ayat ini juga menganjurkan agar setiap orang beriman agar tetap teguh  dalam beragama tanpa terpengaruh dengan ajaran lainnya.

Prinsip-prinsip HAM lainnya yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia adalah ajaran Islam yang melarang diskriminatif, ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Al-Qur’an komitmen terhadap ketidak-adilan ekonomi seperti yang ditegaskan dalam Surah Al-Hashr ayat 7 dan Surah At-Taubah ayat 60. Dua ayat tersebut melarang kekayaan hanya dimiliki oleh orang-orang yang kaya saja. Hal tersebut mengandung makna bahwa Islam sangat peduli pada orang-orang yang tertindas yang perlu ditolong untuk meningkatkan harkat dan martabatnya. Dengan kata lain, melakukan pembiaran atas nasib orang-orang miskin dan terlantar adalah termasuk katagori melanggar HAM.

Pada konteks sosial, Islam juga memiliki semagat untuk membangun harkat dan martabat manusia melalui nilai-nilai kekeluargaan yang terimplementasi dalam kehidupan keluarga maupun antar keluarga sehingga terbentuk keharmonisan yang abadi, yang di dalamnya memancar nilai gotong royong, kerjasama, saling menghormati, dan lain sebagainya.  Keharmonisan dan kekeluargaan yang menjadi aspek dalam meningkatan harkat dan martabat manusia dapat ditemukan dalam Q.S. 2:83, 4:36, dan 6:161. Ayat-ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa peningkatan harkat dan martabat manusia hanya bisa dicapai jika dikaitkan dengan aspek keadilan ekonomi, sosial, dan politik.

Beberapa prinsip HAM dalam Islam tersebut di atas sangatlah jelas sehingga segala bentuk pemaksaan kehendak, penindasan, diskriminasi, intoleransi, terorisme dan hal-hal lain yang menyalahi sunnatullah bukanlah ajaran Islam. Penegasan ini perlu,karena selama ini semua pelanggaran HAM yang terjadi baik di Indonesia maupun di luar negeri, terutama pelanggaran dalam bentuk terorisme dan penindasan kaum wanita selalu dialamatkan kepada umat Islam. Terorisme bukan ajaran agama karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sunnatullah. Terorisme sebenarnya lebih kepada persoalan politik dan terdapat pada agama manapun. Namun, tidak ada satupun agama yang menganjurkan kekerasan, kekejaman, dan pelagaran hak-hak asasi manusia.

Dalam konteks ajaran Islam, justru Al-Qur’an lebih banyak menawarkan konsep bagaimana membangun harkat dan martabat dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan seperti kerjasama, keadilan, persaudaraan dan saling menghormati. Masalah perbedaan agama adalah masalah keyakinan, yang manusia sendiri tidak memiliki kuasa, manusia hanya diberi tugas untuk menyampaikan kebenaran (berdakwah). Hal tersebut ditegaskan dalam Surah An-Nahl ayat 125:

ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl:125).

Prinsip Al-Qur’an tersebut menginspirasi umat Islam agar menjadi pelopor dalam toleransi dan penegakan hak asasi manusia. Perbedaan keyakinan jangan menjadi penghalang untuk saling bekerja sama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.

 

Penutup

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindugi oleh nagara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan harkat dan martabat manusia.

Pasal-Pasal dalam deklarasi HAM Universal (HAM Barat) secara umum mengatur hak-hak yang menjunjung tinggi martabat manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat suatu bangsa maupun masyarakat internasional. Nilai-nilai  tersebut bersifat universal yang bertujuan mengangkat harkat dan martabat manusia tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama, dan perbedaan lainnya yang dalam kontek ajaran Islam diakui sebagai sunnatullah. Islam talah mengajarkan penghormatan, keadilan dan kerjasama yang merupakan elemen-elemen penting dalam HAM. Elemen-elemen tersebut menjadi sebuah prinsip HAM Islam yang secara praktis diwujudkan dalam bentuk nilai keadilan, persamaan hak, musyawarah, kejujuran, kemanusiaan, tolong menolong, menentang diskriminatif,  dan lain sebagainya. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam HAM merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip ajaran Islam, sehingga secara prinsipal tidak ada masalah.

Perbedaan yang cukup mendasar antara konsep HAM menurut perspektif Islam dan HAM dalam perspektif Barat adalah sumber nilai yang digunakan.  HAM dalam Islam bersumber pada  wahyu Ilahiyah yang memberikan tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk mengelola alam semesta ini untuk mencapai kesejahteraan, harkat dan martaba manusia. Sementara, HAM menurut pandangan Barat, lebih di dasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian menjadi konsensus bersama untuk dijadikan hukum dalam memperjuangkan, menegakkan, dan melindungi hak-hak kemanusiaan yang berada dalam setiap warga negara. Meskipun, hak-hak kemanusian tessebut juga menjadi komitmen besar yang ada dalam wahyu Ilahiyah, namun HAM pandangan Barat sama sekali terlepas dari nilai-nilai agama.

Cara pandang HAM Barat yang semata-mata didasarkan pada nilai kepentingan individu (anthroposentris) sehingga manusia menjadi tujuan akhir dari pelaksanaan HAM tersebut.Sedangkan HAM dalam padangan Islam lebih bersifat theosentris, yang mengedepankan nilai pengabdian kepada Al-Kholiq,melaksanakan HAM tidak hanya sekedar melaksanakan kepatuhan atas kewajiban yang harus dilaksanakan tetapi merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Ada beberapa nilai yang menjadi prinsip dasar dalam HAM menurut pandangan Islam, yaitu  (1) persamaan hak,  (2) kebebasan,  (3) penghormatan terhadap sesama manusia.  (4) hak unuk hidup,(5) hak memperoleh keadilan dan (6) hak perlindungan.

 

Daftar pustaka

Dalizar putra. 1995. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Quran, Jakarta: PT. Al-Husna  Zikra

 

Harun Nasution dan Bahtiar Effendi. 1987. Hak Asasi Manusia Dalam Islam. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

 

Luqman Hakim. 1993. Deklarasi Islam Tentang HAM. Surabaya : Risalah Gusti

http://www.diyanshintaweecaihadiansyah.blogspot.co.id/2011/12hak-asasi-manusia-dalam-perspektif-islam-html.

http://www.annaba-center.com/kajian/hak-asasi-manusia-ham-dalam-perspektif-islam (dikutip tgl 30 April, pukul 15:43)

 

 

 

Kritik Terhadap Konsep HAM

Versi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pbb

Fathurrahman Kamal

 

  1. Prolog

Beberapa pekan terakhir masyarakat muslim di Republik ini mengalami “turbulensi” sosial, sekaligus teologis terkait maraknya propaganda LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) mengenai hubungan sesama jenis dan liberalisasi moral generasi muda, bahkan di tingkat pendidikan tinggi pada lembaga yang “bersyahadat”. Tentu saja, sebagai gejala psikologis yang terukur, terlepas dari penyimpangannya yang kasat mata, kita berempati dan berusaha menawarkan solusi alternatif, bahkan advokasi sekalipun.

Namun demikian, propaganda yang sedemikian massif dan terstruktur, bahkan mengatasnamakan kebebasan mimbar akademik, propaganda LGBT sudah menembus batas-batas kewajaran ilmiah, dan pada tataran tertentu ia lebih merepresentasikan ideologi dan agenda politik tertentu yang mempunyai hajat dan orientasi jauh ke depan di negeri muslim terbesar ini. Apalagi selain merusak generasi bangsa yang saat ini rata-rata berusia sangat belia : 15-20-an tahun; di mana nanti pada tahun 2035-2040 mereka akan menjadi orang tua, bahkan tokoh-tokoh besar, pigur publik, justeru pada saat bangsa ini menikmati apa yang disebut sebagai bonus demografis. Dapat dibayangkan warna Republik ini 20-30 tahun mendatang, jika penyimpangan ini tak segera ditangani. Nah, salahsatu permasalahan mendasar dalam wacana hubungan sejenis ialah pembenarannya dengan “mantra” HAM (Hak Asasi Manusia) yang bersumber pada Deklarasi Universal HAM Persyarikatan Bangsa-Bangsa yang disahkan pada Rapat Umum PBB, 10 Desember 1948. Dokumen ini memiliki dasar-dasar filosofis yang sekuler, yang tak terpisahkan dari nilai-nilai humanisme, individualisme dan liberalisme era modern Barat.

  1. Beberapa Catatan Kritis

Kritik terhadap sekularisme bukanlah sesuatu yang baru di kalangan Ulama dan pemikir muslim dunia. Prof. Dr. Naquib Al-Attas, umpamanya, memberikan kritikan yang tajam terhadap implikasi paradigma sekularisme. Sekularisme, lanjutnya, memberikan dampak dan malapetaka yang sangat serius dalam kehidupan muslim; 1) menegasikan dan memutuskan relasi dan mata rantai alam semesta, termasuk manusia dari unsur-unsur transensden/alam metafisik; 2) melahirkan Dualisme, manusia terjebak pada dua hal yang selalu dikotomis dan tak dapat dipersatukan, dunia-akherat, agama-sains, tekstual-kontekstual, akal-wahyu, dunia-akherat dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia sebagai makhluq yang terbelah jiwanya (split personality). Nilai-nilai kehidupan dan religius menjadi serba nisbi atau relatif, manusia tak pernah mendapatkan kepastian dalam hidupnya; dan 3) desakralisasi politik dan manusia menjadi pusat dari segalanya (antroposentrisme) dan manusiapun didewakan yang berkuasa mutlak atas alam dan kehidupan ini tanpa melibatkan Tuhan.[1]

Worldview, paradigma atau falsafah hidup Barat terbaca di atas menjadi basis bagi konseptualisasi DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) . Wajarlah jika kemudian melahirkan domino permasalahan di internal masyarakat muslim di seluruh dunia. Karena memang, paradigma/worldview yang sekularistik hanyalah tepat dan kompatibel bagi warga masyarakat dan warga dunia yang menganut falsafah hidup Sekularisme itu sendiri. Sebagaimana umat Islam, yang menganut pandangan hidup yang tauhidik, menjunjung tinggi Al-Qur’an dan Sunnah.

Berikut ini penulis paparkan beberapa permasalahan krusial dan problematis dalam rumusan Declaration of Human Right versi  Persyarikatan Bangsa-Bangsa yang disandingkan dengan Cairo Declaration on Human Rights in Islam (إعلان القاهرة حول حقوق الإنسان في الإسلام) yang merupakan “tandingan” penyeimbang yang dirumuskan oleh bangsa-bangsa muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990.

  1. Sumber Hukum/Nilai Sekularistik

Sebagaimana kritikan para ahli dalam bidang Human Right Law, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia versi PBB, penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan tidak dihubungkan samasekali dengan unsur-unsur Ketuhanan. Ini merupakan konsekuensi logis dari worldview Sekularisme yang memang menafikan relasi transenden dengan kehidupan manusia. Berikut ini rumusan pembukaan Universal Declaration of Human Right[2] :

Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world, (Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah serta atas hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari seluruh anggota umat manusia merupakan landasan bagi kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia.)

Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people, (Menimbang bahwa pengabaian dan pelecehan terhadap hak asasi manusia telah menimbulkan tindakan-tindakan biadab yang memperkosa naluri kemanusiaan, dan lahirnya suatu dunia dimana umat manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan serta kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan telah diikrarkan sebagai aspirasi tertinggi manusia).

Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law, (Menimbang bahwa hak asasi manusia harus dilindungi pemerintahan yang berdasarkan hukum merupakan suatu hal yang esensial, agar orang tidak terpaksa mengambil jalan lain, sebagai upaya terakhir, dengan berontak melawan tirani dan opresi).

Whereas it is essential to promote the development of friendly relations between nations, (Menimbang bahwa esensial untuk mengembangkan pembentukan hubungan persahabatan di kalangan bangsa-bangsa).

Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed their faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person and in the equal rights of men and women and have determined to promote social progress and better standards of life in larger freedom, (Menimbang bahwa bangsa-bangsa di Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan keyakinan mereka akan hak manusia yang mendasar, dalam martabat dan harkat pribadi manusia serta dalam hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan, dan telah memutuskan untuk memperjuangkan kemajuan masyarakat serta standar-standar kehidupan yang lebih baik dalam kebebasan yang labih besar).

Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in co-operation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms, (Menimbang bahwa Negara-Negara peserta telah mengikrarkan diri untuk mencapai, dalam kerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, peningkatan penghargaan bagi dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan-kebebasan yang mendasar di seluruh dunia).

Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the greatest importance for the full realization of this pledge,…( Menimbang bahwa suatu pengertian bersama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini memiliki signifikansi tertinggi bagi realisasi sepenuhnya ikrar ini).

Dalam preambule tersebut samasekali tidak terbaca pengkaitan HAM dengan unsur-unsur Ilahiyah sebagaimana yang telah disebutkan. Barat berpandangan, ukuran sesuatu mesti diselaraskan dengan keberadaan manusia, sehingga watak yang berkembang lebih pada penghargaan individu-individu semata (antroposentrisme). Berbeda dengan Islam yang berpandangan bahwa HAM mesti dijiwai oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai transformasi dari kualitas kesadaran manusia. Manusia diperintah untuk hidup dan bekerja sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan terhadap Allah s.w.t[3] dan Rasul-Nya.

Kekosongan DUHAM dari unsur-unsur Ilahiyah tadi dikoreksi dan dinyatakan secara eksplisit dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam (إعلان القاهرة حول حقوق الإنسان في الإسلام) berikut ini :

تأكيدا للدور الحضاري والتاريخي للأمة الإسلامية التي جعلها الله خير أمة أورثت البشرية حضارة عالمية متوازنة ربطت الدنيا بالآخرة وجمعت بين العلم والإيمان، وما يرجى أن تقوم به هذه الأمة اليوم لهداية البشرية الحائرة بين التيارات والمذاهب المتناقضة وتقديم الحلول لمشكلات الحضارة المادية المزمنة. [4]

Deklarasi Kairo terbaca di atas mengikrarkan relasi transenden yang sedemikian kuat antara peran strategis sejarah dan peradaban umat dengan Allah s.w.t. sebagai Penciptanya; relasi integral antara dunia dan akherat; dimensi sains dan iman. Relasi transenden yang fundamental inilah diharapkan menyelamatkan kemanusiaan dari berbagai arus pemikiran atau aliran yang saling bertentangan, sekaligus dapat menjadi solusi atas problema peradaban materialistis yang akut.

Tentang kesatuan manusia dan kemuliaannya secara universal bertumpu pada “penghambaan” kepada Allah s.w.t. dan “kenabian” Adam a.s. Oleh karenanya dalam konteks melaksanakan kewajiban manusia adalah sama, tanpa diskriminasi ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, keyakinan agama, orientasi politik ataupun kondisi sosial tertentu, dan bahwa “akidah yang shahih”lah  menjadi garansi tumbuhnya kemuliaan ini sepanjang jalan menuju kesempurnaan manusia. Semua makhluq adalah ciptaan Allah s.w.t., dan yang paling dicintaiNya ialah orang yang paling bermanfaat bagi makhluqNya, dan tiada kemuliaan bagi seseorang di antara mereka keculai dengan takwa dan amal shalih. Demikian ditegaskan pada artikel ke-1, point a dan b :

المادة 1:

أ- البشر جميعا أسرة واحدة جمعت بينهم العبودية لله والنبوة لآدم وجميع الناس متساوون في أصل الكرامة الإنسانية وفي أصل التكليف والمسؤولية دون تمييز بينهم بسبب العرق أو اللون أو اللغة أو الجنس أو المعتقد الديني أو الانتماء السياسي أو الوضع الاجتماعي أو غير ذلك من الاعتبارات. وأن العقيدة الصحيحة هي الضمان لنمو هذه الكرامة علي طريق تكامل الإنسان.

ب- أن الخلق كلهم عيال الله وأن أحبهم إليه أنفعهم لعياله وأنه لا فضل لأحد منهم علي الآخر إلا بالتقوى والعمل الصالح.[5]

Pasal ke-24 menegaskan, semua hak asasi manusia yang tertera pada deklarasi ini terikat dengan ketentuan hukum Syariat Islam.

المادة 24 : كل الحقوق والحريات المقررة في هذا الإعلان مقيدة بأحكام الشريعة الإسلامية.[6]

Demikian pula pada pasl ke-25 pada Deklarasi Kairo dinyatakan sebagai berikut, “Syari’at Islam adalah satu-satunya refernsi yang absah untuk penjelasan dan klarifikasi atas artikel tertentu dari artikel-artikel termuat dalam deklarasi ini.”

المادة 25 : الشريعة الإسلامية هي المرجع الوحيد لتفسير أو توضيح أي مادة من مواد هذه الوثيقة.[7]

Indonesia sebagai bagian dari persyarikatan Bangsa-Bangsa, berkewajiban untuk tunduk terhadap DUHAM yang telah diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal, 10 Desember 1948. Namun demikian, bangsa Indonesia, sebagai bangsa beragama dengan mayoritas umat Islam, tetap menegaskan jati dirinya. Artinya DUHAM, tidak dapat diterima ‘mentah-mentah’ sebagai sesuatu yang taken for granted. Hal ini dapat kita cermati pada Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Pada “Pembukaan” piagam HAM tersebut terbaca sebagai berikut :

Bahwa manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggungjawab serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan, serta menjaga keharmonisan kehidupan.”

“Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa meliputi hak….Bahwa didorong oleh jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai pandangan mengenai hak asasi dan kewajiban manusia, yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945…Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia menyatakan Piagam Hak Asasi Manusia.”[8]

  1. Kebebasan Mutlak Tanpa Relasi Transenden

Kebebasan dalam kajian hak asasi manusia sudah menjadi kata kunci yang diperbincangkan para ahli. Kebebasan adalah ruh bagi Liberalisme, dan itu dibuat berdasarkan konvenan-konvenan atau kesepakatan-kesepakatan yang bersumber dari kesetaraan (equality) dan rasionalitas. Sedangkan beragama merupakan konvenan dengan Tuhan tanpa transaksi rasionalitas, karena dalam pandangan agama: manusia dipandang sebagai makhluk yang subordinat berhadapan dengan Tuhan.[9] Dalam kata lain, HAM dalam paradigma Barat yang sekuler, menempatkan manusia dalam setting yang terpisah dengan Tuhan (devided God).[10]Kekebasan dalam perspektif ini, juga menegasikan unsur-unsur transenden.

Duham pasal 2 dan 3 berbunyi :

Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. (Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang dicanangkan dalam Deklarasi, tanpa pembedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau opini lain, kewarganegaraan atau asal-usul sosial, kekayaan, keturunan atau status lainnya.Selanjutnya, tidak boleh ada pembedaan orang berdasarkan status politik, yurisdiksional, atau internasional yang dimiliki negara asalnya, yang independen, yang berada dibawah pemerintahan perwalian, atau yang berada dibawah pembatasan kedaulatan lainnya.)

Everyone has the right to life, liberty and security of person. (Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi).[11]

Berbeda dengan paradigma Islam. Bagi para fuqaha’, kebebasan itu secara teknis menggunakan terma hurriyah yang seringkali dikaitkan dengan perbudakan. Seorang budak dikatakan bebas (hurr) jika tidak lagi dikuasai oleh orang lain. Namun secara luas bebas dalam hukum Islam adalah kebebasan manusia dihadapan hukum Tuhan yang tidak hanya berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan tapi hubungan kita dengan alam, dengan manusia lain dan bahkan dengan diri kita sendiri. Sebab manusia tidak dapat bebas memperlakukan dirinya sendiri. Dalam Islam bunuh diri tidak dianggap sebagai hak individu, ia merupakan perbuatan dosa karena melampaui hak Tuhan.

Menurut para teolog kebebasan manusia tidak mutlak dan karena itu apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah sebatas apa yang mereka istilahkan sebagai ikhtiyar. Ikhtiyar memiliki akar kata yang sama dengan khayr (baik) artinya memilih yang baik “choosing what is better”. Istikaharah adalah shalat untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Jadi bebas dalam pengertian ini adalah bebas untuk memilih yang baik dari yang tidak baik. Sudah tentu disini kebebasan manusia terikat oleh batas pengetahuannya tentang kebaikan. Karena pengetahuan manusia tidak sempurna, maka Tuhan memberi pengetahuan melalui wahyuNya. Orang yang tidak mengetahui apa yang dipilih itu baik dan buruk tentu tidak bebas, ia bebas sebatas kemampuan dan pengetahuannya sebagai manusia yang serba terbatas.

Para filosof tidak jauh beda dengan para teolog. Kebebasan dalam pengertian para filosof lebih dimaknai dari perspektif Islam dan bukan dalam konteks humanisme sekuler. Para filosof juga memandang perlunya kebebasan manusia yang didorong oleh kehendak itu disesuaikan dengan Kehendak Tuhan yang menguasai kosmos dan masyarakat manusia, sehingga dapat menghindarkan diri dari keadaan terpenjara oleh pikiran yang sempit.[12]

Pada mukaddimah Deklarasi Kairo kita terbaca sebagai berikut :

ومساهمة في الجهود البشرية المتعلقة بحقوق الإنسان التي تهدف إلي حمايته من الاستغلال والاضطهاد وتهدف إلي تأكيد حريته وحقوقه في الحياة الكريمة التي تتفق مع الشريعة الإسلامية.

وإيمانا بأن الحقوق الأساسية والحريات العامة في الإسلام جزء من دين المسلمين لا يملك أحد بشكل مبدئي تعطيلها كليا أو جزئيا، أو خرقها أو تجاهلها في أحكام إلهية تكليفية أنزل الله بها كتبه، وبعث بها خاتم رسله وتمم بها ما جاءت به الرسالات السماوية وأصبحت رعايتها عبادة، وإهمالها أو العدوان عليها منكرا في الدين وكل إنسان مسؤول عنها بمفرده، والأمة مسؤولة عنها بالتضامن، وأن الدول الأعضاء في منظمة المؤتمر الإسلامي تأسيسا علي ذلك تعلن ما يلي:…[13]

Eksplisit terbaca bahwa, Deklarasi Kairo didasari oleh tujuan luhur menyelamatkan kemanusiaan dari segala bentuk eksploitasi dan ancaman serta sebagai afirmasi atas segala hak-haknya yang selaras dengan “syariat Islam”. Hak-hak asasi yang dimaksud adalah bagian integral dari din Islam, yang tidak dapat diabaikan oleh siapapun, baik secara keseluruhan ataupun partikular tertentu. Dan bahwa, hal tersebut merupakan kewajiban yang dititahkan oleh Allah s.w.t. melalui Kitab-Kitab ataupun para Rasul-Nya. Dengan demikian, sikap mengabaikan dan meremehkan hak-hak tersebut adalah sebuah “kemunkaran” dalam perspekti agama (Islam).

  1. Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Paradigma sekuler-liberal meniscayakan kebebasan yang tak terbatas (free-will) seperti dikemukakan sebelumnya. Hal ini berimplikasi lebih jauh pada aspek beragama dan berkeyakinan. DUHAM pasal 18 menyatakan,

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.( Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama ; hak ini meliputi kebebasan untuk mengubah agama atau keyakinannya, serta kebebasan secara pribadi atau bersama-sama dengan orang-orang lain dan secara terbuka atau pribadi, untuk menjalankan agama atau keyakinannya dalam pengajaran, praktek, ibadah dan ketaatan)[14]

Penerapan pasal ini berakibat pada kebebasan seseorang untuk berpindah-pindah agama sesuai dengan selera dan kepentingan pragmatisnya; termasuk menodai ajaran-ajaran agama yang telah baku (tsawabit) dan diketahui secara pasti oleh umum (ma’lum min al-din bi al-dlarurah). Oleh karena, Deklarasi Kairo meluruskannya pada pasal ke-10 :

المادة 10 : الإسلام هو دين الفطرة، ولا يجوز ممارسة أي لون من الإكراه علي الإنسان أو استغلال فقره أو جهله علي تغيير دينه إلي دين آخر أو إلي الإلحاد.[15]

(Islam adalah agama fitrah. Islam melarang adanya paksaan dalam bentuk apa pun untuk mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan seseorang untuk mengganti agamanya ke agama lain atau ke atheisme).

Ulama Muhammadiyah terkenal, Prof. Dr. Hamka telah membuat kajian khusus tentang DUHAM, dalam satu makalah bertajuk “Perbandingan antara Hak-Hak Azasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam”.  Terhadap pasal 18 DUHAM, Hamka memberikan kritik yang sangat tajam. Mengutip QS al-Baqarah ayat 217, beliau menyatakan:

Kalau ada orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini buat diterapkan di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Qur’an. Dengan demikian Islamnya sudah diragukan. Bagi umat Islam sendiri, kalau mereka biarkan program penghancuran Islam yang diselundupkan di dalam bungkusan (kemasan) Hak-hak Azasi Manusia ini lolos, berhentilah jadi muslim dan naikkanlah bendera putih, serahkanlah ‘aqidah dan keyakinan kepada golongan yang telah disinyalemen oleh ayat 217 Surat al-Baqarah itu; bahwa mereka akan selalu memerangi kamu, kalau mereka sanggup, selama kamu belum juga murtad dari Agama Islam.[16]

Secara prinsip DUHAM yang memberi kebebasan tak terbatas dalam beragama dan berkeyakinan tampak tidak kompatibel dengan sistem hukum dan religiusitas bangsa Indonesia. Terbukti dengan langkah Pemerintah RI menerbitkan beberapa produk hukum yang mengatur tentang kebebasan beragama; pasal 156 KUHPid, UU No I PNPS 1965, SKB Mendagri dan Menag. No 1 tahun 1969 dan SK Menag No 70 tahun 1978 yang isinya sebagai berikut :

  1. Setiap orang berhak untuk memeluk suatu agama, yang berarti:
    • Setiap orang atas kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau paksaan.
    • Setiap orang hanya boleh menganut satu agama, tetapi tidak bebas menganut dua agama atau lebih sekaligus.
    • Setiap penganut suatu agama bebas mengembangkan dan menyebarkan ajaran agamanya, tetapi tidak bebas mengembangkan atau menyebarkan ajaran agamanya kepada orang yang telah menganut agama lain dengan paksaan atau cara lain yang tidak bersandarkan kepada keikhlasan/kesadaran murni.
  2. Setiap penganut agama bebas menjalankan ajaran agamanya, yang berarti
    • Bebas tanpa gangguan, halangan, pembatasan dari pihak manapun untuk beribadah menurut ajaran agamanya, tetapi tidak bebas menjalankan ibadah yang menimbulkan gangguan, ketidaknyamanan, apalagi yang bersifat penghinaan, penistaan atau penodaan terhadap penganut ajaran agama lain.
    • Bebas mengembangkan dan memelihara hakekat ajaran agama yang dianut, tetapi tidak bebas membuat penyimpangan, merusak/mengacak-acak ajaran agama/kepercayaan orang lain.
  3. Setiap penganut agama bebas mendirikan rumah ibadah masing-masing yang berarti :
    • Bebas membuat rancangan bangunan, model, eksterior dan interior, tapi tidak bebas membuat rancangan bangunan yang persis menyerupai bentuk rumah ibadah agama lain.
    • Bebas membangun di atas tanah/tempat yang sah dan patut , tetapi tidak bebas membangun rumah ibadah disembarang tempat termasuk tempat ibadah  yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
  4. Mengabaikan Faktor Agama Dalam Perkawinan

Pasal 16 Duham menyatakan :

(1) Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. (Laki-laki dan perempuan dewasa, tanpa pembatasan apapun menurut ras, kewarganegaran atau agama, berhak untuk menikah dan membentuk suatu keluarga. Mereka berhak atas hak-hak yang sama pada saat pernikahan, selama pernikahan dan pada saat perceraian)

(2) Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses. (Pernikahan hanya boleh dilakukan dengan sukarela dan kesepakatan bulat dari kedua mempelai).

Dalam konteks perkawinan sesama jenis (pasangan homo atau lesbi) pasal tersebut memberikan kesan abu-abu dan tak jelas. Sementara dalam pandangan Islam sangat jelas persyaratan perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dalam membangun lembaga perkawinan. Perhatikan koreksi Deklarasi Kairo, pasal ke-5 (a) berikut ini :

المادة 5: أ- الأسرة هي الأساس في بناء المجتمع، والزواج أساس تكوينها وللرجال والنساء الحق في الزواج ولا تحول دون تمتعهم بهذا الحق قيود منشؤها العرق أو اللون أو الجنسية.[17]

(Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan perkawinan adalah basis pembentukannya. Laki-laki dan wanita memiliki hak untuk menikah dan tidak boleh ada pembatasan dalam soal ras, warna kulit, dan kebangsaan yang menghalangi mereka untuk menikmati hak tersebut)

Tentu saja bukan tanpa pertimbangan. Dalam Islam, pernikahan merupakan lembaga yang sakral, disamping secara fungsional untuk memenuhi kebutuhan dasar biologis manusia. Ikatan perkawinan dalam Islam dinyatakan sebagai “mitsaqan ghalidzan”, sebanding dengan penyebutan sumpah para Nabi di hadapan Allah s.w.t. untuk menyampaikan ajaran tauhid.

Merespon pasal 16 DUHAM Buya Hamka mengatakan :

“Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya, kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik, yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya hanya sama-sama musyrik pula.[18]

Penolakan Buya Hamka, terhadap DUHAM, khususnya pasal ke-16 dan ke-18 ditegaskannya sebagai berikut :

“Sebab saya orang Islam. Yang menyebabkan saya tidak  dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah Islam statistik. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Qur’an dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syari’atnya tidak saya jalankan atau saya bekukan.”[19]

Setelah memaparkan data-data dan berbagai penjelasan untuk menakar ulang kompatibilitas DUHAM yang berbasis pada worldview/paradigma sekularistik, sekaligus muatan-muatannya, penulis simpulkan bahwa, sesungguhnya DUHAM yang diklaim sebagai norma universal, secara faktual dalam kehidupan manusia belum mewujudkan hak-hak asasi manusia yang sesungguhnya. Tentunya, dengan segala hak manusia yang tercantum pada deklarasi tersebut, masih menyisakan masalah-masalah fundamental menyangkut aplikasi, batasan makna dan karekteristiknya. Oleh karena itulah deklarasi tersebut berlaku secara tidak seragam karena memang perbedaan karakter dan ideologi masing-masing bangsa dan negara. Bahkan, sering pula dilaksanakan untuk kepentingan negara-negara tertentu yang saling bersengketa.

Lebih dari itu, akan muncul klaim sepihak bahwa hak asasi manusia merupakan anugerah yang diberikan oleh deklarasi tersebut. Tak heran kemudian, jika hak-hak yang tertera pada deklarasi tersebut sangatlah jauh dari risalah (visi-misi taransenden) manusia dalam kehidupannya. Hal sedemikian sangatlah logis, karena deklarasi tersebut disusun dan dirumuskan oleh sekelompok orang dan negara dengan latar belakang historis, agama, ideologi, sosial, budaya, politik tertentu yang tidak selaras dengan ajaran Islam.

Deklarasi tersebut tidak mencantumkan secara tegas antara hak dan kewajiban. Dikotomi antara hak dan kewajiban melahirkan implikasi yang teramat serius dalam berbagai lini kehidupan manusia; ekonomi, sosial, politik dan seterusnya. Deklarasi hanyalah berhenti pada tataran simbolisme.

Tanpa batasan makna yang jelas dan tegas, HAM (versi PBB) akhirnya menjadi justifikasi untuk melahirkan berbagai tindak kejahatan dan kriminal sosial dan teologis, sekaligus sebagai pembenar propaganda demoralisasi. Lalu, apakah DUHAM telah tepat dan benar bila dijadikan sebagai paradigma ataupun perspektif dalam memahami ajaran Islam? Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

 

 

HAM yang Salah Kaprah

 

Dr. Bagus Riyono, M.A., Psikolog.

Dosen Fakultas Psikologi UGMPresident of The International Association of Muslim Psychologists Anggota Dewan Pakar APIKetua Presidium Gerakan Indonesia Beradab

 

Dewasa ini isu Hak Asasi Manusia (HAM) semakin marak dan menyentuh hampir semua aspek kehidupan kita. Ada hak perempuan, hak anak, hak murid, hak istri, hak untuk kebebasan berekspresi, dan bahkan belakangan ada yang menuntut hak untuk memilih jenis kelamin sendiri dan hak berzina. Bagi kita yang terbiasa berpikir logis tentu akan mengernyitkan dahi dan hampir tidak percaya hal ini bisa terjadi. Namun demikianlah kenyataannya. Mereka yang menuntut hak menentukan jenis kelamin sendiri dan hak berzina bahkan merasa benar dan bangga dengan “perjuangannya” itu.

Apa sih sebenarnya “hak” itu? Banyak orang mengartikan hak itu sebagai sesuatu yang seharusnya kita terima atau kita miliki. Ada yang mengartikannya sebagai sesuatu yang seharusnya boleh kita lakukan. Pengertian seperti ini sangat problematik. Pertama, dalam pengertian tersebut ada nuansa menuntut dan cenderung ego-centris. Kedua, jika kita terapkan pengertian itu dalam kehidupan sehari-hari maka yang akan terjadi adalah konflik. Ketika sepasang suami-istri masing-masing memperjuangkan haknya maka mereka akan saling menuntut dan tidak saling memberi. Ketika seorang murid menerapkan pengertian itu maka dia akan melecehkan gurunya. Jika seorang anak menerapkan pengertian itu maka dia akan durhaka pada orangtuanya. Adapun mereka yang menuntut hak untuk menentukan jenis kelamin sendiri dan hak berzina maka mereka telah durhaka terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Pemahaman tentang hak yang seperti itu adalah sebuah salah kaprah yang luar biasa menyesatkan. Kalaupun ada yang membantah pendapat itu tetapi tanpa pemahaman yang mendalam tentang makna sesungguhnya dari “hak”, maka yang akan terjadi hanyalah debat kusir. Misalnya satu pihak berkata “saya berhak berekspresi sebebas-bebasnya!”, lalu yang menentang akan berkata “saya juga punya hak untuk tidak suka dengan ekspresimu!”. Hal seperti ini adalah debat kusir yang tidak ada ujungnya kecuali konflik. Oleh karena itu setiap kali terjadi pembicaraan tentang hak asasi manusia selalu menimbulkan nuansa konflik yang panas dan bukan kedamaian yang adem.

Hak dalam bahasa Inggris adalah “rights”. Dalam bahasa Inggris juga, “right” berarti “benar” dan bisa juga berarti “kanan”. Adakah makna-makna itu hanya kebetulan saja atau ada keterkaitan satu sama lainnya? Seperti sudah kita ketahui bersama bahwa Bahasa Indonesia banyak terpengaruh bahasa Arab. Tidak banyak yang menyadari bahwa kata “hak” sebenarnya adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “haq” yang berarti benar atau kebenaran. Jadi makna sesungguhnya dari hak atau “rights” itu adalah yang benar atau kebenaran. Berbeda dengan “truth” yang juga berarti kebenaran, “rights” adalah benar dalam arti proporsional dan adil, menempatkan sesuatu pada tempatnya secara beradab. Ketika seorang anak nakal menaruh kakinya di atas meja maka akan dikomentari “that is not right”, “nggak benar seperti itu”. Ketika seorang gadis berdandan dengan rapi cantik dan pas tidak berlebihan maka akan disebut “it is just right”, yang artinya pas, tepat, proporsional, serasi.

Adapun hubungan antara “right” yang berarti benar dengan “right” yang berarti kanan itu apakah juga ada maknanya? Hubungan antara makna “benar” dan “kanan” ini bukanlah hanya sesuatu yang random. Di dalam Al Qur’an, surat Al Balad ayat 18-19 dinyatakan: “Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.” Ayat tersebut mengatakan bahwa “kanan” itu adalah yang “benar”. Secara maknawiyah kanan itu berhubungan dengan sesuatu yang benar. Dengan demikian sekarang bisa kita fahami bagaimana hubungan antara hak, benar, dan kanan yang terkandung dalam satu kata “right”. Makna sentralnya adalah benar atau tepat. Dengan pengertian ini kita jadi lebih bisa memahami maksud dari artikel 1 dalam Universal Declaration of Human Rights.

Dalam dokumen Universal Declaration of Human Rights, Artikel 1, tertulis: “All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. Jika kita terjemahkan secara maknawiyah maka bagian pertama dari pernyataan itu maksudnya adalah: “Semua manusia terlahir bebas dari keburukan-keburukan yang dapat menghambat kehidupannya, dan memiliki kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan dalam kehidupannya, serta setara dalam kehormatan dan kebenaran”. Kebebasan, kehormatan, dan kebenaran ini harus dijaga dengan akal sehat dan hati nurani. Kehormatan manusia akan terjaga ketika dia diperlakukan sesuai haknya, diperlakukan dengan benar dan adil serta beradab.

Hak asasi manusia adalah hak hidup dan mempertahankan kehidupannya. Hak ini harus dihormati dan dijaga bersama. Tidak boleh membunuh karena itu melanggar hak, melanggar kebenaran. Tidak boleh mentelantarkan orang lemah, miskin dan fakir, karena mereka juga berhak untuk hidup dan kehidupan yang layak. Mencaci maki orang lain adalah melanggar hak akan kehormatan orang tersebut. Menelantarkan anak yatim adalah melanggar hak, melanggar kebenaran, karena anak yatim juga memiliki hak untuk mendapat perhatian dari seorang figur ayah. Yang hak bagi setiap anak adalah mendapatkan pengasuhan dari ayah, yang laki-laki, dan ibu, yang perempuan. Secara hak, laki-laki dan perempuan adalah pasangan yang saling menyempurnakan, karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Komnas HAM seharusnya adalah sebuah lembaga yang mulia, karena menjaga yang hak dan mengabdi pada yang hak. Komnas HAM adalah lembaga yang independen, terbebas dari kepentingan politik dan kepentingan ekonomi, yang bertugas melulu sebagai “majelis ulama” yang akan mengingatkan pihak-pihak yang melanggar hak asasi manusia. Komnas HAM adalah lembaga yang menjadi penjaga keadilan dan keberadaban kehidupan bangsa Indonesia. Adalah sebuah kesalahan besar ketika Komnas HAM membela mereka yang menuntut untuk dibolehkan melakukan apa saja tanpa hak. Hak bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Karena pemahaman seperti itu merancukan antara kebebasan dan hak. Kerancuan ini terjadi karena pemaknaan itu didorong oleh hawa nafsu dan mengingkari akal sehat. Hak adalah sesuatu yang menjadi hakim atas perilaku, yang membedakan mana perilaku yang salah, melanggar hak, dan mana perilaku yang benar, perilaku yang hak.

HAM bukanlah milik individu-individu. HAM adalah sebuah tatanan sosial yang menjaga keharmonisan kehidupan. Adalah hak bagi seorang anak untuk mendapatkan kasih sayang orangtua. Bersamaan dengan itu adalah sebuah hak pula bagi seorang anak untuk menghormati orangtuanya. Bagi seorang murid adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, dan menghormati guru adalah sesuatu yang hak dalam proses pendidikan itu. Jadi hak adalah sebuah sistem yang didalamnya terkandung kewajiban, karena kewajiban adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan yang juga merupakan sebua kebenaran. Sudah pada tempatnya bahwa orangtua menyayangi anaknya dan anak menghormati orangtuanya. Sudah pada tempatnya bahwa seorang guru mendidik muridnya dan seorang murid menghormati gurunya. Guru atau orangtua tidak berhak untuk membiarkan murid atau anaknya tersesat dalam kehidupannya. Demikian pula dalam kehidupan suami-istri, yang hak adalah saling menyayangi, saling menghargai, dan saling menjaga diri dari sesuatu yang merusak hubungan keduanya.

Mereka yang berteriak-teriak menuntut hak untuk berbuat semaunya sendiri adalah golongan yang justru melawan hak asasi manusia, karena mereka berbicara atas nama hawa nafsunya dan tidak peduli pada kehidupan yang mulia. Mereka yang menuntut hak untuk menentukan jenis kelamin sendiri, memilih orientasi seksual sendiri, adalah para pelanggar HAM yang membahayakan kehidupan bangsa di masa depan. Mereka yang menuntut hak untuk berzina adalah golongan yang membuat kerusakan dalam masyarakat. Bangsa Indonesia harus dicerahkan dari salah kaprah tentang HAM ini dan supaya setia pada kemanusiaan yang adil dan beradab, karena itu adalah hak bagi generasi bangsa Indonesia di masa depan. Hanya dengan menegakkan HAM yang benar bangsa Indonesia akan dapat membangun peradaban yang tinggi dan mulia.

[1] Baca, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme (Bandung : Penerbit Pustaka, 1981), hal. 17 dst. Bandingkan dengan, Dr. Adnan Ali Ridla al-Nahwi, al-Muslimun bayna al-‘Almaniyah wa Huquq al-Insan al-Wadl’iyah (Riyadl: Dar al-Nahwi, 1418), hal. 143-173

[2] http://www.un.org/Overview/rights.html

 

[3] Eggi Sudjana, HAM Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Nuansa Madani, 2002), hal. 9

[4] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[5] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[6] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[7] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[8] CST Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia…, hal. 52-53

[9] Sarasdewi Dhamantra, Keniscayaan Liberalisme Beragama. Lihat, http://islamlib.com/id/artikel/keniscayaan-liberalisme-beragama/. Ekses, 22-12-2008

[10] Eggi Sudjana, HAM…hal. 10

[11] http://www.un.org/Overview/rights.html

[12] Hamid Fahmi Zarkasyi, Hak dan Kebebasa…hal. 5

[13] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[14] http://www.un.org/Overview/rights.html

[15] http://www.un.org/Overview/rights.html

[16]Adian Husaini, Muhammadiyah dan HAM, dalam Catatan Akhir Pekan ke-147. http://www.hidayatullah.com

[17] http://www.arabhumanrights.org/dalil/45.htm

[18] Adian Husaini, Muhammadiyah dan HAM, dalam Catatan Akhir Pekan ke-147. http://www.hidayatullah.com

[19] Ibid.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker