LGBT

 

Legalisasi Homoseksual dan Ijtihad Kontekstual

Dr. Adian Husaini, M.A.

Anggota MTDK PP Muhammadiyah

Periode 2005-2010

 

Suatu hari (Jumat, 28/3/2008), seorang wartawan salah satu harian di Jakarta mengirimkan SMS kepada saya. Dia tidak dikenal sebagai aktivis Islam atau pengurus salah satu organsisasi Islam. SMS itu bersejarah. Sebab, untuk pertama kali dia berkirim SMS kepada saya. Isinya, dia terkejut membaca berita di koran The Jakarta Post, edisi pagi itu, bahwa Prof. Dr. Musdah Mulia, dosen di UIN Jakarta,  sudah berani menghalalkan homoseksual.

Segera saya melacak situs koran the Jakarta Post. Ternyata benar. Berita itu memang ada. Judulnya ”Islam recognizes homosexuality’  (Islam mengakui homoseksualitas).  Dalam jurnalistik, tentu saja ini sebuah berita. Logika umum akan menyatakan, bahwa homoseksual adalah haram dan menjijikkan. Tapi, seorang profesor bidang keislaman sudah ada yang berani menghalakannya. ”Anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing itu baru berita,” begitu jargon lama yang dipegang dalam dunia jurnalistik. Jika yang menghalalkan perkawinan sejenis (homo dan lesbi) adalah aktivis homoseksual, maka tidak aneh, dan bukan berita. Tapi, ini lain! Yang menghalalkannya adalah seorang profesor,  berjilbab pula. Jadilah ini sebuah berita yang patut dikonsumsi publik. Mengapa aneh? Karena ini untuk pertama kalinya ada seorang yang dikenal sebagai ahli agama secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis.

Menurut berita The Jakarta Post, Mudah Mulia menyatakan, bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam).

Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama arus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”

Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).

Ketika berita di The Jakarta Post itu saya angkat sebagai Catatan Akhir Pekan (CAP) di Radio Dakta dan www.hidayatullah.com, muncul kontroversi yang sangat luas. Seorang wartawan menelepon saya, apa memang benar Musdah mengatakan seperti itu. Ada juga yang menuduh saya menyebarkan fitnah untuk menjelek-jelekkan UIN Jakarta. Saya jawab, semua itu ada di berita Jakarta Post. Jika tidak percaya, silakan baca sendiri. Majalah Tabligh, terbitan Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah,  edisi Mei 2008 juga membuat laporan khusus tentang Musdah dan homoseksual. Dalam pelacakannya, wartawan Tabligh menemukan makalah Musdah berjudul ‘Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta’, yang secara terang-terangan memang mendukung perkawinan sesama jenis.

Pemikiran yang menghalalkan perkawinan sejenis, jelas bukan sekedar wacana. Ini sebuah kemunkaran, karena disebarkan secara sistematis melalui berbagai media. Lebih penting lagi, pemikiran  itu dijadikan legitimasi untuk gerakan dukungan praktik homoseksual dan lesbianisme. Sebagai sebuah perguruan tinggi yang menyandang label Islam, seharusnya UIN Jakarta mengklarifikasi secara ilmiah pandangan salah seorang dosennya. Sebab, itu membawa citra buruk bagi institusi tersebut. Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Banyak profesor dan pakar syariah di UIN yang mampu menjawab logika-logika Musdah Mulia. Dalam pandangan Islam, dosa ilmu jauh lebih berat timbangan dosanya ketimbang dosa amal. Orang yang berzina dihukumi dosa besar. Orang yang menghalalkan perzinahan terkena hukum riddah (kemurtadan). Semua ulama bersepakat bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual/lesbi adalah hukuman mati. Lalu, bagaimana dengan orang yang menghalalkan praktik homoseksual tersebut?

Pemikiran-pemikiran Musdah Mulia sangat merusak konsep dan citra pendidikan Islam. Katanya, pendidikan Islam bertujuan mencetak manusia-manusia yang bertaqwa dan beramal shaleh. Di kampus Islam ditekankan pentingnya dakwah, sehingga didirikan Fakultas Dakwah. Tentu tujuannya untuk melaksanakan dakwah, amar makruf nahi munkar. Di kampus, korupsi dianggap munkar, sehingga dilarang. Zina juga dilarang. Narkoba dilarang. Pornografi pun dilarang. Bagaimana dengan dosen yang secara terbuka mendukung perkawinan sejenis? Apakah itu bukan hal yang munkar? Mana yang lebih berat dosanya, korupsi atau zina? Mana yang lebih jahat, menghalalkan zina atau berzina?

Bagaimana jika seorang kepala perampok diangkat sebagai intruktur di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian? Bagaimana jika seorang aktivis gerakan separatis Papua diangkat sebagai instruktur di Lemhanas, dengan alasan untuk berbagi wacana?

Relativisme tafsir dan kontekstualisasi

Logika sederhana yang sering  dijadikan sebagai dasar perombakan hukum Islam adalah metode kontekstualisasi. Bahwa, Islam adalah produk sejarah. Al-Quran adalah produk sejarah. Al-Quran tidak turun di ruang hampa. Ayat-ayatnya  turun dalam konteks budaya Arab yang patriarkhi. Karena itu, hukum-hukum Islam harus dilihat dalam konteks sosio-historisnya. Inilah salah satu metode favorit yang banyak digunakan oleh kaum liberal. Mereka mengadopsi mentah-mentah tradisi Yahudi-Kristen yang membagi secara diametral antara metode tekstual dan kontekstual dalam penafsiran Bibel. Pihak yang menerapkan metode tekstual dicap sebagai fundamentalis, dan yang menerapkan metode kontekstual dalam penafsiran kitab suci disebut sebagai kaum liberal.

Salah satu dampak jelas dalam penggunaan ’metode kontekstualisasi’ dan hermeneutika adalah munculnya kerelativan dalam produk tafsir. Tidak ada hukum yang dianggap mutlak benar. Semua bisa berubah. Semua relatif. Padahal, sebagai Kitab Suci terakhir yang diperuntukkan bagi semua manusia, hukum Islam memiliki karakter universal. Inilah perbedaan hukum Islam dengan hukum para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw yang diperuntukkan bagi satu kaum dan masa tertentu.

Para pengaplikasi hermeneutika berpandangan bahwa tidak ada tafsir yang tetap dan mutlak. Semua tafsir dipandang sebagai produk akal manusia yang relatif, kontekstual, temporal, dan personal. Prof. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya,  menggambarkan fungsi hermeneutika sebagai berikut :

“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapa pun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah “terbatas”, “parsial-kontekstual pemahamannya”, serta “bisa saja keliru”.  Hal ini tentu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang  untuk “Selalu Benar”. (Lihat, Pengantar M. Amin Abdullah untuk buku Hermeneutika al-Quran: Tema-tema Kontoversial, karya Fahrudin Faiz, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005)

Dengan demikian, maka penggunaan hermeneutika sebagai satu metode tafsir al-Quran bisa sangat berbahaya, karena berpotensi besar membubarkan ajaran-ajaran Islam yang sudah final. Dan itu sama artinya dengan membubarkan Islam itu sendiri. Karena itu, para akademisi Muslim  seyogyanya sadar benar akan bahaya besar ini, dan bukan hanya  bersikap tidak peduli atau bahkan sekedar mengikuti ‘tradisi’ Barat dalam memperlakukan agama Yahudi dan Kristen.

Dengan hermeneutika, hukum Islam memang menjadi tidak ada yang pasti. Contoh yang paling jelas dan banyak digugat oleh para hermeneut (pengaplikasi hermeneutika) adalah hukum tentang perkawinan antar-agama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi, karena hukum ini dipandang bertentangan dengan Universal Declaration of Human Right, pasal 16, sehingga dianggap harus diubah. Agama tidak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawinan. Maka kaum liberal menggunakan metode tafsir ‘kontekstual historis’ untuk mengubah hukum ini. Dalam bukunya, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005), Musdah menguraikan metode kontekstualisasi untuk QS 60:10, yang menjadi landasan pengharaman pernikahan Muslimah dengan pria non-Muslim. Katanya:

“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu,  larangan  ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan dengan sendirinya.”

Tapi, dalam soal pembongkaran hukum perkawinan antar-agama, metode tafsir kontekstual historis ala Musdah Mulia berbeda dengan yang digunakan para penulis buku Fiqih Lintas Agama (Paramadina, 2004):

“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”

Dari hasil penelitian Litbang Depag tentang paham liberal keagamaan di lingkungan UIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa UIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di UIN, mendukung sekularisasi,  menolak penerapan syariat Islam di berbagai daerah, dan mendukung perkawinan beda agama. Dengan berpegang kepada paham kebebasan berpikir dan atas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering menjadi saksi pernikahan beda agama. Ditulis dalam laporan penelitian ini: “Seseorang yang sudah pacaran 5 tahun kemudian mau menikah terhalang oleh perbedaan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah sebagai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua insan untuk membangun rumah tangga.”

Dari contoh ini bisa dilihat, bagaimana metodologi kontekstual historis yang digunakan sangat sembarangan dan menjadikan satu hukum menjadi relatif dan tidak tetap. Padahal, dalam pandangan Islam, masalah agama adalah hal pinsip dalam perkawinan. Dengan model tafsir hermeneutis ala kontekstual historis semacam itu, hukum Islam bisa diubah sesuai dengan kemauan siapa saja yang mau mengubahnya, karena tidak ada standar dan metodologi yang baku.

Cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam penafsiran al-Quran, sebab al-Quran adalah wahyu yang lafaz dan maknanya dari Allah, bukan ditulis oleh manusia. Karena itu, ketika ayat-ayat al-Quran berbicara tentang perkawinan, khamr, aurat wanita, dan sebagainya, al-Quran tidak berbicara untuk orang Arab. Maka, dalam penafsiran al-Quran, memang tidak mungkin lepas dari makna teks, karena al-Quran memiliki teks yang final dan tetap. Teks al-Quran tidak berubah sepanjang masa, dan maknanya tetap terjaga, sejak diturunkan sampai sekarang dan nanti. Jadi, meskipun ayat tentang khamr diturunkan di Arab, dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan sudah kecanduan khamr. Maka, khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau banyak, baik untuk orang Arab atau tidak.

Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita (QS 24:31 dan 33:59), sudah dipahami seluruh ulama sepanjang sejarah Islam, bahwa wanita muslimah wajib menutup tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Karena ayat al-Quran bersifat universal, maka perintah menutup aurat itu berlaku untuk semua wanita, dan sepanjang zaman, bukan hanya untuk wanita Arab. Sebab, anatomi tubuh seluruh wanita adalah sama, baik Arab, Eropa, Cina, atau Jawa. Hingga kini, para perancang mode tetap memperlakukan bagian-bagian khusus pada tubuh wanita sebagai daya tarik bagi laki-laki normal. Kontes-kontes ratu kecantikan pun masih tetap menonjolkan dan mengukur bagian-bagian tertentu dari tubuh wanita. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya berbeda pendapat dalam soal kewajiban menutup wajah (cadar) dan batasan tangan. Tidak ada yang berpendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya. Apalagi yang berpendapat, bahwa batasan aurat wanita tergantung situasi dan kondisi.

Maka, aneh, misalnya, dalam Jurnal An-Nisa’a, terbitan Pusat Studi Gender IAIN Raden Patah, Palembang, seorang dosen menulis, bahwa aurat adalah konsep budaya, dan tidak perlu didasarkan pada nash.

”Apabila disetujui bahwa “kesulitan” dan “keperluan” merupakan penentu dalam menginterpretasikan teks-teks aurat, maka aurat adalah bukan terminologi agama, artinya batasannya bukan ditentukan oleh teks-teks agama. Dalam hal ini, kata aurat sama halnya dengan kata-kata yang lain seperti aib dan memalukan atau sebaliknya wajar dan sopan, adalah bukan terminologi agama tetapi terminologi sosial budaya yang sangat relatif berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.” (Vol. 2, Nomor 1, Juni 2006, hal. 66).

Cara memandang Islam sebagai ”produk budaya” menjadi akar dari pola pikir dekontsruksi syariah. Padahal, Islam adalah agama wahyu, yang final.    Konsep finalitas dan universalitas teks al-Quran inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia, sampai saat ini memiliki sikap yang sama berbagai masalah mendasar dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Kristen yang sangat mudah mengubah hukum, karena teks Bibel sendiri memang senantiasa berubah dan tidak ada teks yang final yang bisa dijadikan rujukan. Contoh yang mudah, bisa dilihat dalam hal ayat tentang babi, jika dilihat sejumlah versi teks Kitab Imamat 11:7-8. Dalam Alkitab versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), tahun 1968 ditulis: “dan lagi babi, karena sungguh pun kukunya terbelah dua, ia itu  bersiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka haramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada dagingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya, maka haramlah ia kepadamu.”  Tetapi, dalam Alkitab versi LAI tahun 2004, kata babi sudah berubah menjadi babi hutan:Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku belah, yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah biak, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu janganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu sentuh; haram semuanya itu bagimu.”

Dalam Bibel, wanita pun sebenarnya diharuskan menutup kepalanya dengan tudung. Korintus, 11:5-6, menyebutkan:

  • ”(5) Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. (6). Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.

Apa yang dimaksud sebagai “tudung kepala bagi wanita”? Daniel B. Wallace, dari Dallas Theological Seminary memberikan paparan tentang berbagai penafsiran tentang hal itu. (Lihat www.bible.org). Diantaranya, ada penafsir yang menyatakan, teks itu tidak ada lagi hubungannya dengan kondisi modern sekarang. (The text has no applicability to us today. Paul is speaking about a ‘tradition’ that he has handed on. Hence, since this is not the tradition of the modern church, we hardly need to consider this text). Ada lagi yang menyatakan, bahwa yang dimaksud tudung kepala adalah rambut itu sendiri. (The head covering is the hair. Hence, the applicability today is that women should wear (relatively) long hair). Ada lagi yang memandang bahwa ayat itu hanya wajib diterapkan dalam upacara di Geraja. Dan sebagainya.

Ketidakpastian hukum ini bisa juga dilihat dalam kasus homoseksual. Meskipun selama ribuan tahun para tokoh Gereja berpegang teguh pada keharaman homoseksual dan lesbianisme, tetapi terpaan nilai-nilai modernitas mulai menggoyahkan tembok Kekristenan. Kaum Kristen selama ribuan tahun pada umumnya tetap berpegang pada ketentuan hukum pada Kitab Kejadian 19:4-29, Imamat 18 dan 21, dan sebagainya yang mengecam keras praktik homoseksual. Tetapi, mulai abad ke-20, bermunculan para teolog yang menerapkan metode baru dalam penafsiran Bibel, yang memungkinkan pengesahan perkawinan sejenis. Maka, kini, banyak sekali Gereja Kristen yang secara resmi menerima perkawinan sejenis dalam Geraja mereka. Bahkan, mereka juga mengizinkan kaum homo dan lesbi menduduki jabatan-jabatan penting dalam gereja, seperti yang terjadi pada Gereja Anglikan, United Church of Canada, the Methodist Church of Great Britain, dan sebagainya.

Apakah umat Islam mau mengikuti jejak kaum Yahudi dan Kristen dalam merusak agamanya semacam itu?

Bibel memiliki karakter yang berbeda dengan al-Quran, sebab al-Quran sangat ketat dalam memegang otentisitas dan finalitas tekstualnya. Mereka yang menafsirkan secara tekstual disebut Kristen fundamentalis, dan banyak dikecam oleh kaum Kristen. Tentu ini sangat berbeda kondisinya dengan al-Quran dan cara menafsirkannya. Umat Islam, dalam mengharamkan babi, berpegang kepada teks yang jelas, final, dan tetap, tidak berubah sampai kiamat. Karena ada kondisi yang berbeda antara teks Bibel dan al-Quran inilah, maka tidak bisa begitu saja, kaum Muslim menjiplak metodologi Bibel untuk menafsirkan al-Quran.

. Tanpa memahami hakekat perbedaan antara teks al-Quran dan Bibel dan metode penafsirannya, banyak sarjana yang latah menjiplak istilah-istilah yang digunakan dalam studi Bibel, seperti menggunakan istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam Eksklusif’ atau ‘Islam radikal’ dan sebagainya, yang didefinisikan sebagai ‘orang-orang yang menafsirkan al-Quran secara tekstual/literal’. Sedangkan yang liberal, inklusif, atau pluralis, kata mereka, adalah yang menafsirkan al-Quran secara kontekstual.

Seyogyanya, para ilmuwan agama jangan bermain-main dengan aspek metodologis (epistemologis) ini. Jika satu metode dirombak, hanya untuk mengubah satu dua hukum tertentu dalam Islam, maka dampaknya akan sangat besar, karena sudah membuka pintu untuk merombak seluruh hukum yang lain, dengan alasan semata-mata, karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan HAM sekular. Maka diantara pengguna hermeneutika, saat ini, sudah bisa dijumpai upaya merombak berbagai hukum Islam yang selama ini dipandang sebagai hal yang qath’iy.

Logika homoseksual

Kita bisa menyimak logika-logika Musdah Mulia dan lain-lain dalam menghalalkan perkawinan sesama jenis  sebenarnya sangat naif. Dalam makalah ringkasnya yang berjudul “Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dia menulis:  

“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)

Hanya dengan logika ”Islam sebagai agama rahmat” maka dilakukanlah suatu pembongkaran besar-besaran dalam hukum Islam. Tidak ada metodologi yang dipakainya. Ini sama dengan dalil yang digunakan sejumlah mahasiswa syariah IAIN Walisongo Semarang, melalui Jurnal Justisia,  yang dengan semena-mena menghalalkan homoseksual karena praktik itu memberikan manfaat bagi pelakunya.

Pandangan Musdah bisa disimak lebih jauh di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008  yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai “tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: “Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.

Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: “Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.”   Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.

Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Al-Qur’an:

“Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.”

Selanjutnya, dia katakan:

“Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.

“Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,” gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.

Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Padahal, dalam Al-Qur’an dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth.

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).

Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya):

“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”

Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

 

Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip  sebuah hadits Rasulullah saw.: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.”  (HR at-Tirmidzi, al-Hakim,  dan at-Tabhrani).

Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).

Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan:

“Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”

Logika-logika yang dipakai Musdah Mulia semacam ini sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai ”ijtihad”, karena dilakukan dengan semena-mena dan merusak tatanan hukum Islam. Dia tidak menggunakan metode yang dapat diuji oleh para ilmuwan di bidang hukum Islam.  Di dalam Hermenetika Kristen saja, ada atata aturan yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir. Tidak bebas begitu saja menafsirkan Bibel menurut kehendak masing-masing. Sebuah buku berjudul Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab karya Pdt. Hasan Sutanto, M.Th., (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1998), menyebutkan banyak syarat dalam pemberlakukan metode analisa konteks.

Jika metodeologi pengambilan hukum Islam dihancurkan, maka akan muncullah penafsiran yang serampangan dan asal bunyi. Sebagai contoh, untuk menghalalkan pekawinan sesama jenis, Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004, yang membuat laporan utama Indahnya Kawin Sesama Jenis, membuat pengantar redaksi:

“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun,  untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

 

Ijtihad Umar bin Khathab

Dalam wawancara di Rubrik Islam Digest Harian Republika (1/2/ 2009), Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA, guru besar IAIN Semarang mengatakan bahwa dalil Qath’iy masih juga diperdebatkan oleh ulama. ”Salah satu contoh dalil qath’iy yang kemudian diperdebatkan kembali hukumnya adalah kasus potong tangan bagi pencuri,” kata Ahmad Rofiq, yang juga sekretaris MUI Jawa Tengah.

Menurut Prof. Rofiq, ketika itu ada pembantu yang mengambil barang majikannya. Tapi, ia mencuri karena terpaksa, karena anak dan istrinya sedang kelaparan akibat honornya tidak dibayar oleh majikannya. Oleh khalifah Umar, si pencuri tidak dihukum potong tangan. Cerita ini tidak disebutkan sumbernya. Tapi, penjelasan Prof. Ahmad Rofiq itu menyimpulkan, bahwa Umar bin Khathab telah mengubah hukum yang qath’iy, yakni hukum potong tangan.

Argumentasi semacam ini sudah berulangkali diungkapkan oleh berbagai kalangan.  Munawir Sjadzali, dalam makalahnya berjudul ”Reaktualisasi Ajaran Islam” menulis tentang Umar bin Khathab: ”Selama menjabat beliau telah mengambil banyak kebijaksanaan dalam bidang hukum yang tidak sepenuhnya sesuai dengan bunyi ayat-ayat Al-Quran.” (Lihat, Munawir Sjazali, Islam, Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa, (Jakarta: UI Press, 1993).             Peneliti Freedom Institute, Ahmad Sahal, dalam artikelnya berjudul ”Umar bin Khattab dan Islam Liberal” menyebut Islam Liberal mendapat energi dari Umar bin Khathab.

Padahal, fakta sebenarnya tidaklah demikian. Umar bin Khatab r.a. sama sekali tidak mengubah status hukum potong tangan bagi pencuri. Tetapi, yang sebenarnya, penerapan hukum itu sendiri harus memenuhi sejumlah syarat.  Ada beberapa dalil untuk itu. Pertama, hadits riwayat As-Sarkhasi, dari Mahkul bahwasannya Nabi SAW telah berkata : ”Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat.” (Lihat, Syamsuddin As- Sarkhasi, Al-Mabsuth (Mesir: As-Sa’adah, 1324), jil. 10, hal. 104). Jadi, Umar tidak menerapkan hukum potong tangan pada kasus tertentu, karena memang ada nash lain yang menjelaskan. Umar r.a. tidak meninggalkan nash al-Quran yang sudah jelas maknanya.

Kedua, di samping hadits yang sangat jelas itu, Allah menjelaskan dalam al-Qur’an: ”Maka barangsiapa yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”  (QS 5:3).

Dari sini jelas, bahwa ijtihad Umar menggugurkan had potong tangan dalam beberapa kasus pencurian dibawah pemerintahannya adalah karena tunduk di bawah aturan syariat Al Qur’an dan hadits, dan bukan disandarkan pada logika dan kemaslahatan semata. Adalah tidak  masuk akal, Umar bin Khathab berani melanggar atau mengubah nash-nash yang qath’iy, sedangkan ketika itu para sahabat begitu kritisnya dalam setiap masalah agama. Tindakan Umar r.a. dalam masalah hukuman bagi pencuri pun sudah disetujui oleh para sahabat, karena tidak menyalahi al-Quran dan sunnah Rasulullah saw.

Kasus pengguguran hukum potong tangan bagi sebagian pencuri telah dibahas secara mendalam oleh Dr. Muhammad Baltaji dalam tesis masternya di Fakultas Syariah Universitas Kairo, yang berjudul Manhaj Umar Ibn Khathab fii at-Tasyri’: Diraasatu Mustaw’abah li-Fiqhi Umar wa-Tandziimaatihi. (Diterbitkan oleh Penerbit Khalifa dengan judul ”Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khathab”, 2003). Umar bin Khathab tidaklah menggugurkan hukum potong tangan bagi pencuri, tetapi beliau menerapkan hukum itu untuk kondisi tertentu, dan tidak menerapkannya untuk kondisi yang lain.

Hukum potong tangan bagi pencuri telah diterapkan oleh Rasulullah saw dan juga oleh Abu Bakar r.a. Umar pun menerapkan hukum tersebut terhadap Samurah yang kedapatan mencuri. Tetapi, di musim paceklik, Umar tidak menerapkan hukum tersebut, karena memang ada hadits Rasulullah saw:  ”Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat.”  Sejumlah ulama, seperti Ibnul Qayyim dan al-Auzai juga berpendapat bahwa dalam keadaan paceklik, maka hukum potong tangan digugurkan.

Muhammad Baltaji berpendapat, bahwa bukan hanya paceklik nasional yang menjadi kondisi digugurkannya hukum ini, bahkan dalam kondisi peceklik  personal – yang memaksa seseorang mencuri karena lapar – maka hukum potong tangan pun digugurkan. Ibnul Qayyim, sebagaimana dikutip Baltaji menyatakan:

”Dan sesuai dengan sunnah, bahwa jika ada kelaparan dan kebutuhan yang teramat sangat, yang menyebabkan seseorang merasa butuh dan bahkan menjadi keharusan baginya untuk memperoleh barang yang dibutuhkan itu, maka seorang pencuri akan bebas dari tuntutan, karena keadaan darurat untuk menyambung nyawanya. Dan dalam keadaan yang demikian itu,  wajib bagi orang yang memiliki sesuatu untuk memberikan barangnya itu secara cuma-cuma, karena setiap orang wajib memberikan kemudahan dan membantu orang lain untuk menjaga nyawanya. Dan inilah alasan kuat digugurkannya potong tangan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa.”

Umar bin Khathab berpegang pada sabda Rasulullah saw: ”Hindarkanlah had (hukuman yang sudah ditentukan, semisal potong tangan atau rajam. Pen.) semampu kalian dari orang Islam, sebab lebih baik seorang imam (hakim) salah dalam memberikan ampunan, daripada ia salah dalam memberikan had.”  Karena itu, kata Umar r.a. : ”Menggugurkan had dalam masalah-masalah yang belum jelas, lebih baik daripada melaksanakannya.”

Oleh sebab itu, tidak benar tuduhan bahwa Umar bin Khathab berani mengubah nash yang qath’iy. Umar r.a. tetap berpegang kepada nash al-Quran dan Sunnah. Dr. Baltaji menulis: ”Merupakan kesalahan yang sangat fatal, jika ada orang yang mengira bahwa Umar bin al-Khathab adalah pioner (orang yang pertama kali) dalam menggugurkan had pencuri. Karena pada kenyataannya ia hanya sebatas mempraktikkan nash-nash yang umum dan khusus dari al-Quran dan sunnah.”

Umar bin Khathab dan para sahabat Nabi saw adalah manusia-manusia pilihan yang sangat taat kepada al-Quran. Suatu ketika, saat menjabat kepala negara, Umar berpidato di atas mimbar: ”Aku tidak mendengar seorang wanita yang maharnya melewati mahar istri-istri Nabi, kecuali aku akan menguranginya.” Tiba-tiba seorang wanita berkata kepada Umar: ”Kau berkata dengan pendapatmu sendiri atau kau mendengar dari Rasulullah? Karena kami menemukan dalam al-Quran sesuatu yang tidak sesuai dengan perkataanmu.” Dia lalu membaca QS 4:120. Mendengar kritik wanita tersebut, Umar bin Khathab berkata: ” Perempuan ini betul dan Umarlah yang salah.”

Itulah sikap Umar r.a. sebagai seorang kepala negara yang memiliki kualitas keilmuan yang sangat tinggi. Generasi sahabat memang dikenal sebagai generasi yang sangat kritis. Karena itulah, seorang pemimpin, seperti Umar bin Khathab tidak bisa bertindak sembarangan, apalagi sampai mengubah-ubah hukum yang jelas ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah.

Dalam wawancara dengan Republika tersebut, Prof. Rofiq berpendapat bahwa dalam masalah sosial kemasyarakatan dan kemaslahatan yang lebih besar, hukum-hukum Islam masih bisa diperdebatkan. Dia contohkan, hukum iddah bagi wanita bisa diperdebatkan, karena dengan kemajuan teknologi, dalam waktu lima menit sudah bisa diketahui seseorang yang berhubungan suami-istri bisa hamil atau tidak.

Logika seperti ini sebenarnya sangat riskan, sebab tidak memiliki batasan yang jelas, sehingga bisa menjadi pendapat yang liar.  Seharusnya, setiap Muslim tidak gegabah dalam mengeluarkan pendapat jika tidak didukung oleh landasan yang kokoh. Dari fakultas syariah IAIN Semarang telah lahir sejumlah sarjana syariat yang secara terbuka menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan, pendapat mereka diterbitkan melalui Jurnal Justisia yang terbit atas izin Dekan Fakultas Syariat IAIN Semarang. (Lihat, Jurnal Justisia, edisi 25 Tahun XI, 2004). Di dalam Jurnal ini, nama Prof. Ahmad Rofiq juga dicantumkan sebagai salah satu konsultan. Dukungan terhadap perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbianisme) yang sangat berarti kemudian datang dari Prof. Musdah Mulia dari UIN Jakarta.

Pada pengantar redaksinya, Jurnal Justisia juga menggunakan dalil kemaslahatan manusia untuk menghalalkan perkawinan sesama jenis.  Dengan logika seperti itulah, maka dalil-dalil yang qath’iy pun bisa diubah maknanya. Pada pengantar redaksinya, Jurnal ini menulis: ”Lantas, kenapa pernikahan homoseksual mesti dilarang, padahal justru ada unsur kemaslahatan, khususnya bagi diri si homoseks dan umumnya bagi umat manusia yang kini dilanda krisis.”

Jika hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy boleh diubah atas dasar faktor kemaslahatan semata, tentu pertanyaannya adalah apa makna kemaslahatan dan menurut siapa? Soal manfaat dan maslahat, lokalisasi perjudian dan pelacuran pun ada maslahatnya. Perkawinan sejenis juga ada manfaatnya, bagi mereka. Korupsi juga ada manfaatnya bagi koruptor. Narkoba juga ada manfaatnya.

Kaum Yahudi dimurkai oleh Allah karena mereka berani merusak ajaran para Nabi. (QS 2: 75, 79). Dengan alasan kemaslahatan juga, kaum Yahudi liberal kini menyelenggarakan perkawinan homo dan lesbi di sinagog-sinagog mereka. Mudah-mudahan kita selalu bisa menghayati doa kita shalat: agar kita dijauhkan dari jalan kaum yang dimurkai Allah, yakni kaum al-maghdlub.  (***)

 

 

 

 

LGBT

( Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender)

Oleh : H. Mohammad Damami

Pengertian

LGBT ( Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) merupakan fenomena spesial yang sangat ramai dibicarakan dewasa ini, khususnya di Indonesia. Persoalannya adalah karena LGBT banyak menyangkut hal-hal lain, misalnya masalah hubungan kemasyarakatan (sosial), ekonomi, kesehatan, politik, hukum, budaya, peradaban,apalagi agama, dalam hal ini agama islam terutama. Sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya dalam hal teknologi komunikasi, transportasi, dan kedokteran, maka persoalan LGBT dengan begitu cepatnya menyebar ke seluruh penduduk di permukaan planet bumi ini. Akibatnya, hal tersebut dapat menimbulkan keguncangan masyarakat yang seolah-olah dipaksa untuk berkondisi homogen (serba sama) antar bangsa dan antar negara. Seolah-olah akan dipaksakan semua bangsa dan semua negara bersedia menerima LGBT dalam tatanan sosialnya. Tentu saja hal semacam ini menimbulkan persoalan yang tidak ringan, minimal pasti terjadi pro dan kontra.

Lesbian berarti perempuan yang memiliki ketertarikan secara seksual sesama perempuan yang lain. Sementara itu gay adalah manusia laki-laki yang memiliki ketertarikan secara seksual terhadap sesama laki-laki yang lain. Lesbian dan gay secara umum tidak(kalau tidak bisa dikatakan kurang) memiliki ketertarikan secara heteroseksual atau berlainan jenis kelamin. Selanjutnya, biseksual adalah seseorang yang memiliki ketertarikan seksual secara ganda, yaitu dia bisa tertarik sesama jenis kelamin, bisa juga tertarik terhadap orang yang berjenis kelamin lain. Tegasnya, dia suatu saat bisa tertarik terhadap sesama jenis kelamin, namun dalam saat yang sama dia bisa juga tertarik terhadap orang lain yang berjenis kelamin berbeda. Terakhir transgender, yaitu seseorang yang berprilaku yang bertentangan dengan jenis kelamin yang dimiliki, misalnya orang laki-laki jenis kelaminnya tetapi tingkah-lakunya seperti seorang perempuan (sering disebut banci, atau bencong). Atau orang perempuan jenis kelaminnya tetapi tingkah-lakunya seperti seorang laki-laki (kelaki-lakian, atau tomboy). Termasuk disebut Transgender adalah oranglaki-lakiyang mengubah kelaminnya menjadi berkelamin perempuan atau perempuan yang mengubah kelaminnya menjadi berkelamin laki-laki yang demikian orientasi ketertarikan seksualnya berubah total dari semulanya. (Saleh, 2018:10)

Ada istilah haru yang mengiringi LGBT ini, yaitu istilah LGBTIQ. Huruf-huruf “IQ” berarti “Intersexes queer and questioned”. Intersexes  artinya seseorang yang terlahir dengan kelamin tertentu yang tidak sesuai dengan definisi tipikal kelaminnya tersebut. Sedangkan kata “queer” berarti sesuatu yang aneh atau tidak wajar. Artinya, perilaku seksual tidak wajar karena lebih tertarik terhadap sesama jenis kelamin daripada tertarik terhadap yang berlainan jenis kelamin. Sementara kata “questioned” berarti sedang mencari jati diri yang sesuai sebab adanya perasaan berbeda antara kenyataan kelamin yang melekat pada tubuhnya dan kecenderungan orientasi ketertarikan seksualnya(seperti yang dialami oleh banci atau bencong). Istilah “LGBTIQ” ini semula ditolak kalangan pelaku LGBT, namun akhirnya mereka terima, malahan sepertinya mereka jadikan identitas mereka (Saleh, 2018:10).

Sejarah

Dukung-mendukung tentang konsep dan gerakan LGBT sudah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1978 didirikan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mendukung dan sekaligus memperjuangkan setatus dan hak kaum LGBT yang disebut the international lesbian gay biseksual trans and intergender (ILGA). Tujuan perjuangan organisasi ini adalah mengorganisasikan “tindakan politik pada tataran internasional dalamhal pemenuhan hak-hak LGBT termasuk upaya untukmemberikan tekanan poltik kepada pemerintah negar-negara yang dinilai kontra atau diskriminatif terhadap LGBT”(Salch, 2018:11).

   Perjuangan organisasi diatas didasarkan strategi sebagai berikut pertama mengusulkan kepada uni eropa dan komisi HAM (Hak-hak asasi manusia) eropa untuk meyetarakan hak-hak LGBT. Kedua memanfaatkan peristiwa-peristiwa dunia untuk membuat popular perjuangan LGBT, misalnya dengan melakuka demonstrasi pada tahun 1980 di iran dan acara olimpiade misim panas di rusia pada tahun 1980 pula, sebagai hasilnya isu LGBT mendapat perhatian dan dukungan dari parlemen Uni Eropa pada tahun 1984 dan pada tahun 1993 usulan perlindungan terhadap kaum minoritas di bawah naungan Desan Sosial dan Ekonomi PBB diterima dan pada tahun 2005 resmi masuk sebagai anggota majelis pertimbangan Desan Sosial dan Ekonomi PBB. Dari sinilah kalangan yang pro LGBT leluasa mengkampanyekan kesetaraan hak-hak kaum LGBT di dataran global di bawah jargo HAM (Saleh, 2018: 11).

Setelah ILGA (The International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans, and Intergender Association) berhasil masuk sebagai anggota penasehat dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka Resolusi Dewan HAM PBB pada tanggal 26 Juni 2016 menekankan dukungan dan perlindungan terhadap keseluruhan hak-hak sipil, seperti dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya dihilangkannya diskriminasi terhadap orientasi seksual dan identitas gender. Jila dilanggar, maka pelanggaran tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM. Setiap negara (selaku anggota PBB) diajak kerjasama untuk mengimplementasikan resolusi tersebut. Resolusi tersebut hanya ditolak oleh beberapa anggota Komisi HAM PBB, terutama dari negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI), seperti Arab Saudi, Aljazair, Maroko, Qatar, Bangladesh, Indonesia dan sebagainya yang kalau dijumlah ada 18 negara.akibat disahkannya resolusi tersebut oleh mayoritas anggota PBB, maka sampai-sampau PBB mengutus utusan khusus ke negara-negara yang dipandang masih melakukan tindakan diskriminasi terhadap hak-hak kaum LGBT tersebut. Indonesia pernah mendapat kunjungan tamu yang demikian itu, yaitu Pangeran Zeid Ra’ad al-Hussein, yang kebetulan dia menjabat sebagai Ketua Komisi Ham PBB. Kunjungan tersebut dilakukan dengan alasan ingin mengusulkan revisi terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diberlakukan di Indonesia masih dinilai berbai diskriminasi terhadap LBGT dan juga dengan alasan masih tingginya kaum LGBT. Sementara itu, oleh utusan tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud masih berbau diskriminasi dalam KUHP tersebut adalah memidanakan pelaku seks di luar nikah dan pelaku LGBT. Tegasnya, nampaknya masyarakat global kini telah menjadi pendukung LGBT. Sementara itu kaum agama yang berpijak pada keluhuran ajaran agama masing-masing seolah-olah mendapat musuh yang tidak seimbang (Saleh, 2018: 12).

Pertarungan “Agama” Versus Konsep “HAM”

Seperti telah diketahui bersama, hidupnya agama adalah karena kewibawaan “sumber ajaran” dan “tokoh agama” yang dihormati dan diikuti. Dalam agama Islam, yang menjadi sumber pokok adalah kitab wahyu, yaitu Al-Qur’an, dan kitab ini dilengkapi dan sekaligus dijelaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w yang disebut As-Sunnah yang maqbuulah (yang dapat diterima sebagai sumber kedua). Sedangkan tokoh yang disegani dalam arti dihormati dan diikuti adalah Nabi Muhammad s.a.w dan para ulama yang mengikutinya dan mendakwahkan ajarannya. Sementara itu, kebenaran yang diikuti dan didakwahkan berdasar prinsip dedukasi, yang artinya bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah al-Maqbulah dan kemudian menjabarkannya dalam kehidupan secara nyata.

Uraian di atas menegaskan bahwa agama, apalagi agama islam, meletakkan “agama” sebagai basis otonom ketika berhadapan dengan sistem aturan yang berangkat dari prinsip induksi, yaitu dalam arti aturan yang dirumuskan berbagai dasar pemikiran atau pengalaman sejarah. Hak-hak asasi manusia (HAM) berangkat dari prinsip induksi ini. Itulah sebabnya tidak aneh kalau agama, dalam hal ini agama islam terutama, tidak ada jeda dalam berbeda pandangan dengan HAM yang sudah diinternasionalisasikan lewat lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Intinya adalah disebabkan berbedanya metodologi dalam merumuskan konsep-konsep dari 2 (dua) lembaga tersebut : agama islam berdasarkan deduksi terutama dan HAM berdasar induksi.

Kita perlu menengok tentang HAM ini. Kelahiran HAM tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran induksi dari dunia Barat, terutama Eropa dan Amerika Serikat. Kejadian-kejadian kemanusiaan dalam proses-proses politik di Eropa yang kemudian disokong oleh hasil-hasil pemikiran para filosof Eropa dan akhirnya dipertegas para penggas dari Amerika Serikat (misalnya Presiden Amerika Serikat D. Roosevelt), menggugah kesadaran tentang pengaturan hak-hak asasi manusia. Namun, dalam proses perumusannya sangat dipengaruhi oleh kondsi Lembaga PBB antara tahun 1946-1948 (Cassese, 2005 : 39-47). Bahwa keanggotaan PBB sekitar tahun 1946-1948 banyaknya baru 58 negara yang terdiri dari : 14 negara Barat (termasuk Australia dan Selandia Baru), 20 negara Amerika Latin, 6 negara sosialis dari Eropa Tengah dan Eropa Timur (Unisoviet, Cekoslovakia, Polandia, Ukraina, Belorusia, Yugoslavia), 4 negara Afrika (Mesir, Ethiopia, Liberia, Uni Afrika Selatan), dan 14 negara Asia (diantaranya adalah Lebanon, Suriah/Syria, Turki, Irak, Iran, Pakistan, Afghanistan, India, Birma, Thailand, Filipina, Cina, Arab Saudi). Keanggotaan PBB sebanyak itu terpecah menjadi 3 (tiga) kelompok (blok), yaitu: negara Barat, negara Sosialis, dan negara “Dunia Ketiga” (negara berkembang). Tiga orientasi blok ini mempengaruhi keputusan-keputusan yang diambilnya yang tidak jarang menimbulkan pertentangan-pertentangan besar antara “Blok Barat” yang demokratis-kapitalistis dan “Blok Timur” yang sosialistis.

Dalam pertarungan “Blok Barat” dan “Blok Timur” tersebut, Amerika Serikat sebagai komandan “Blok Barat” tampaknya ingin menginisiasi sebuah “deklarasi” tentang HAM yang pada hakikatnya merupakan salinan asli dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Bill of Right Amerika yang oleh kalangan kaum sosialis (Blok Timur) ditafsirkan sebagai pengekspor nilai-nilai Barat (yang bersifat individualis-kapitalistis) ke kancah internasional (Cassese 2005, 41-42).

Dari sebab adanya pertentangan antara “Blok Barat” dan “Blok Timur” di atas, maka ada tuntutan pelaksanaan HAM di seluruh negara di dunia akan “direalisasikan oleh masing-masing negara dalam hubungannya dengan sistem nasionalnya” (Sassese, 2005: 46-47). Berdasar tesis ini, maka pelaksanaannya Ham di masing-masing negara tetap dikaitkan dengan keadaulatan hkum di negara bersangkutan.

Sekalipun HAM (Declaration of Huma Right) telah diputuskan dan diterima sejak 10 Desember 1948, namun tetap menyisakan 2 (dua) persepsi terhadap hakikat dan pemberlakuan HAM tersebut. Persepsi pertama adalah dari negara-negara “Barat” (pengusungnya Inggris, Perancis dan Amerika Serikat). Barat memiliki persepsi bahwa Ham adalah universal. Artinya, setiap bangsa, tanpa mempersoalkan latar belakang politik dan sosial budayanya, harus melaksanakan secara konsekuen terhadap kesepakatan penerimaan HAM (Gonggong, 1995: 24). Persepsi kedua adalah dari negara-negara yang sedang berkembang. Persepsi kalangan negara berkembang ini menyatakan bahwa konsepsi dan pelaksanaan HAM tidak sepenuhnya universal. Artinya pelaksanaan HAM tidak mentah-mentah diterapkan secara utuh tanpa mempertimbangkan pertimbangan-pertimbangan politik dan sosial-budaya di negara-negara yang bersangkutan (Gonggong, 1995: 24). Bahwa setiap anggota PBB, menurut persepsi kedua ini, tetap memiliki hak prerogatif dalam menjalankan kedaulatan hukum yang diberlakukan dalam setiap negara anggota tersebut. Tegasnya, tidak bisa diseragamkan tanpa mempertimbangkan kedaulatan hukum yang dirumuskan dalam setiap negara.

Demikian juga kedudukan “agama” dalam pemberlakuan HAM. Agama harus diberi ruang otonom untuk memahami dan menjalankan isi ajaran agama yang bersangkutan. Tidak bisa, bahkan tidak mungkin, ajaran agama yang diyakini dan dihayati pemeluknya harus dikalahkan oleh HAM yang oleh para penganut agama dinilai sebagai”produk manusia” itu.

Memang harus diakui dan disadari mesti akan terjadi tarik-menarik antara ketaatan terhadap keyakinan terhadap ajaran agama yang dipeluk dan ketaatan terhadap hukum selaku warga negara atau warga dunia. Satu-satunya cara sebagai jalan tengah adalah : menghormati HAM global dan melaksanakannya namun tetap sebatas tidak bertentangan secara diametral terhadap isi ajaran agama yang dianutnya.

Mengapa Agama Islam Menolak LGBT ?

Agama Islam menolak merebaknya perilaku dan kultur LGBT antara lain disebabkan beberapa hal. Pertama, Al-Qur’an secara jelas telah mengisahkan kaum Nabi Luth telah melakukan perbuatan “fahisyah” (perbuatan yang sangat merusak berupa perbuatan homoseksual) yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya, mereka menyalurkan nafsu seksualnya bukan dengan lain jenis kelamin, melainkan dengan berjenis kelamin sama (QS Al-A’raf, 7 : 80-81). Sekalipun ungkapan ayat Al-Qur’an ini berupa kisah, namun isi dari kisah itu menunjukkan larangan untuk berbuat sebagaimana dimuat dalam kisah, yaitu perbuatan homoseksual yang sekarang lebih bervariasi lagi menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender.

Ungkapan kisah dalam ayat 80-81 Surat Al A’raf tersebut diakhiri dengan balasan setimpal atas perbuatan yang tak lazim tersebut yang termuat dalam ayat 84 yang di situ dikisahkan bahwa kaumnya Nabi dihujani dengan hujan bebatuan sampai binasa sebagai imbalan bagi orang-orang yang durhaka.

Ungkapan kisah siksa ini mempertegas larangan melakukan perbuatan homoseksual sebagaimana yang dilakukan kaumnya Nabi Luth. Memang harus diakui, pemberlakuan larangan ini memang dari rasa iman atau keyakinan, bukan oleh hukum positif. Sungguhpun begitu, sebenarnya larangan berlatar belakang keimanan adalah jauh lebih dihayati daripada larangan yang hanya bermotif hukum positif.

Kedua, dalam ayat 80 Surat Al A’raf di atas dinyatakan bahwa perilaku homoseksual kaumnya Nabi Luth merupakan perilaku yang sebelumnya belum pernah ada. Ini mengandung arti bahwa perilaku homoseksual tersebut motif utamanya adalah penyaluran nafsu seksual (syahwah) yang tidak lazim (tidak normal). Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa perilaku homoseksual adalah “penyakit”, baik diri pelakunya maupun masyarakat (patologi sosial). Karena “penyakit”, maka perlu diusahakan penyembuhannya, bukan malahan diberi kesempatan atau perlindungan terhadap perbuatan tersebut. Bisa saja dilakukan konsinyasi atau penempatan secara khusus untuk keperluan rehabilitasi. Barangkali ilmu kedokteran, entah kedokteran pada umumnya maupun kedokteran kejiwaan, yang bertanggung jawab sesuai dengan profesinya. Menurut Dr. Bagus Riyono, M.A. pakar psikologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Spitzer (2003) telah melaporkan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 200 orang menderita homo seksual dapat dikembalikan menjadi heteroseksual (melakukan hubungan seksual lain jenis) (Riyono, Edisi Khusus 2018 :21). Sama nasibnya dengan berbagai jenis penyakit yang mengganggu kesehatan manusia maka semua orang senantiasa secara terus-menerus mencari cara pengobatannya. Demikian juga LGBT yang dinilai sebagai sebuah bentuk “penyakit” maka sudah tentu orang harus terus bersemangat untuk mencari cara pengobatannya, bukan malah diberi peluang untuk bertumbuh subur.

Ketiga, seperti terurai dalam pembahasan tentang sejarah merebaknya LGBT dan keterkaitannya dengan pemberlakuan HAM secara global di atas, maka tindakan kalangan lgbt merapat dengan HAM menyebabkan kesan bahwa penyebaran paham dan perilaku LGBT bukan sebuah gerakan yang bersifat kebudayaan murni, melainkan sudah ada intervensi tangan-tangan legislasi internasional yang mencoba memaksakan LGBT dapat diterima dan dilindungi secara hukum secara global. Hal inilah yang membuat tidak nyaman kalangan Islam dalam pergaulan selaku warga dunia. Masalahnya adalah karena paham dan gerakan LGBT secara substansi bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang diutarakan di atas. Sungguh tidak mengenakkan manakala konsep, paham, dan perilaku LGBT dibenturkan kepada agama Islam dengan dalih payung hukum berupa deklarasi HAM global. Negara-negara di dunia yang penduduknya mayoritas Islam jelas menolak cara-cara perlindungan terhadap LGBT lewat jargo HAM seperti ini. Wallahu a’lam.

 

REFERENSI

Cassese, Antonio

2005 Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Penerjemah : A. Rahman Zainuddin Jakarta Yayasan Obor Indonesia.

Gonggong, Anhar, dkk.

1995 Sejarah Pemikiran Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta : Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kompas Gramedia

2017 “Ekspresi Gender”. National Geographic Indonesia. Januari 2017.

Riyono, Bagus

2018 “LGBT dan Gerakan Politisasi Psikologi”. Tabligh, No. 03/XV, Edisi Khusus 2018/1439

Saleh, Arif Isdiman

2018 “Perkembangan Kampanye Global terhadap LGBT”. Tabligh, No. 03/XV, Edisi Khusus 2018/1439

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker