BeritadefaultKhazanah

Warisan Utama KH. Ahmad Dahlan Kepada KH. Hadjid

TABLIGH.ID- Apa itu organisasi? Begitulah pertanyaan yang meluncur dari ulama muda tersebut. Sepulang kedua kalinya dari Mekkah, dirinya mendapati satu hal yang tak sedap dilihat. Kalimat yang tercetus dari Muhammad Abduh terpatri dalam kepala dan sanubarinya. “Al-Islamu Muhajubun bil Muslimin (Agama Islam itu tertutup dengan orang Muslimin)” (H.M. Sudja’: 2018)
Praktek keislaman yang terjadi di tanah Jawa kala itu memang melenceng dari rel “Islam yang sebenar-benarnya.” Cita K.H. Ahmad Dahlan untuk menerapkan Islam yang sebenar-benarnya memang sudah tertanam.
Untuk itu ia rela memulai dari awal. Mendidik anak-anak dengan mengenalkan kembali “Islam yang sebenar-benarnya.” Sekolah anak-anak itu ia dirikan. Sekolah Ibtidaiyah. Begitu ia menyebutnya. ia yang memulai segalanya dari awal. Dari bangunan rumahnya kelas itu didirikan. Luasnya hanya 2,5 x 6 meter. 3 bangku ia susun untuk para muridnya. Ia yang mendirikan, ia yang memodali, ia pula yang mengajar. (H.M. Sudja’: 2018)
Suatu kali, ikhtiar mengajarnya menemui titik balik yang akan mengubah jalannya umat di tanah air. Ia bertemu dengan muridnya. Muridnya bertanya bagaimana jika Kiyai Ahmad Dahlan wafat? Siapa yang akan meneruskan? Muridnya mengusulkan dibentuknya sebuah organisasi.
Organisasi itu apa?,” tanya K.H. Ahmad Dahlan. Kiyai kemudian dijelaskan makna organisasi dan dicontohkan organisasi yang telah ada yaitu seperti perkumpulan Boedi Oetomo. (H.M. Sudja’: 2018)
Perubahan pola pengasuhan dan pengelolaan pendidikan ini akhirnya memang mengubah jalannya nasib umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah yang kemudian didirikan K.H. Ahmad Dahlan menjadi salah satu organisasi Islam tertua dan terbesar.
Pendidikan yang dikelola dengan baik membuat Muhamamdiyah menjadi organisasi Islam yang memiliki asset raksasa termasuk ratusan perguruan tinggi yang dimiliki Muhammadiyah.
Jika meniliki lebih dalam, selain tata kelola organisasi yang baik, salah satu akar berkembangnya Pendidikan di Muhammadiyah adalah konsep Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan itu sendiri. Konsep Pendidikan beliau dapat kita telusuri dari kesaksian langsung murid-murid beliau. Salah satunya adalah K.H. Hadjid.
K.H. Hadjid adalah mantan santri Pondok Pesantren Tremas yang bergabung di Muhammadiyah sejak tahun 1916. Ia bergabung di Muhammadiyah pada usia 19 tahun.
K.H. Hadjid sendiri anak dari seorang pendiri Muhammadiyah, R.H. Djaelani. Ayahnya adalah salah satu penandatangan akta pendirian organisasi Muhammaddiyah pada 1912. Setelah menempuh Pendidikan formal di Sekolah Rakyat, Hadjid kecil diajak ayahnya berhaji. (M. Muchlas Abror: 2016)
Selepas haji Hadjid kecil kemudian nyantri di Ponpes Jamsaren, Surakarta hingga tahun 1913. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Selah tiga tahun di Tremas, K.H. Hadjid kemudian melanjutkan Pendidikan di Madrasah Al-Atas Jakarta hingga tahun 1917. Jika kita melihat perjalanannya menuntut ilmu, K.H. Hadjid tampak gigih menggali khazanah keilmuan dari berbagai tempat. Hingga ia kemudian menyelami lautan ilmu dari K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada usia 19 tahun.
Dalam usia yang muda tersebut ia intents menuntut ilmu dari K.H. Ahmad Dahlan hingga wafatnya Kiyai Dahlan pada tahun 1923. Selama enam tahun ia mengamati apa dan bagaimana K.H. Ahmad Dahlan mendidik para muridnya. Menurut Kiyai Hadjid, ada beberapa kitab yang menjadi rujukan K.H. Ahmad Dahlan. Diantaranya; Kitab Tauhid, Al-Islam wan-Nasraniyyah, dan Tafsir Juz ‘Amma karya Muhammad Abduh; Dairatul Ma’arif karya Farid Wajdi; Kitab-kitab fil Bid’ah karya Ibnu Taimiyyah; Idharulhaq karya Rahmatullah al-Hindi, dan kitab-kitab hadist karya ulama Mahzab Hanbali. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Kiyai Hadjid merasa bahwa Kiyai Ahmad Dahlan meyadarkannya  untuk hidup bertauhid dan menjauhi kesyirikan. Ia juga menilai bahwa Kiyai Ahmad Dahlan mampu mengaitkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan realita masyarakat setempat. Kiya Dahlan juga mengajak untuk mengaplikasikan ayat-ayat Al-Qur’an dengan amal nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. (M. Muchlas Abror: 2016)
Menariknya, menurut Kiyai Hadjid, selama enam tahun itu ia hanya diajarkan tujuh perkara. Ia berkata,
“Dalam waktu 6 tahun itu saya tidak mendapat ilmu apapun dari beliau yang tercatat dalam hati, kecuali 7 perkara. Begitu juga saya yakin, bahwa kesulitan yang timbul dalam masyarkat umum dan dunia internasional akan dapat diatasi dengan 7 perkara…”(K.R.H. Hadjid: 2018)
Ketujuh perkara ini kemudian nantinya dicatat kembali dan dibukukan dalam buku 7 Falsafah & 17 Kelompok ayat-ayat Al-Qur’an. Buku ini pertama kali diterbitkan oleh Dana Bantuan untuk Tjalon Hadji Indonesia pada tahun 1960-an. (K.R.H. Hadjid: 2018)
7 falsafah atau perkara yang diajarkan Kiyai Ahmad Dahlan pada para muridnya, termasuk Kiyai Hadjid dimulai dari persoalan mendasar. Perkara pertama adalah persoalan hidup setelah mati. Kiyai Ahmad Dahlan pernah mengungkapkan:
 “Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?” (K.R.H. Hadjid: 2018)
Kebanyakan manusia sudah tenggalam di dunia ini baik oleh kesenangan, ataupun malah kesengsaraan sehingga mati perasaannya dan tidak lagi sempat memikirkan nasibnya di akhirat nanti. Dalam pelajaran itu ditekankan Kiyai Ahmad Dahlan bahwa manusia terbagi menjadi dua:
Pertama, mereka yang belum mendapat ajaran agama ataupun menolak ajaran agama. Menurut mereka, manusia setelah mati hanya akan menjadi tanah tanpa ada pengusutan atau pembalasan atas amal dan perbuatan mereka. Kedua, manusia yang mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul termasuk umat Islam pengikut nabi terakhir, Muhammad SAW. Umat yang percaya akan hari akhir. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Seringkali dalam berkumpul, Kiyai Ahmad Dahlan mengingatkan: “Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya, tidak bersungguh-sungguh, tidak akan berhasil; apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil.”
Perkara kedua: Banyak diantara para manusia berwatak angkuh dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri. Setiap umat beragama di dunia pasti merasa dialah yang benar dan masuk surga. Sedangkan yang lain akan masuk neraka. Kiyai Ahmad Dahlan heran mengapa mereka tidak saling berkumpul, berdiskusi untuk bertukar pikiran, mengevaluasi pemahaman mereka?
Mereka hanya percaya dengan anggapannya mereka sendiri. Begitu pula dalam golongan umat segama yang saling bertikai. Mereka hanya percaya golongan lain salah, dan golongan dialah yang paling benar. Padahal yang mereka pertaruhkan adalah nasib mereka di hari akhirat. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Di sinilah kita memahami bahwa Kiyai Ahmad Dahlan sangat menekan pada muridnya untuk sungguh-sungguh mendalami Islam dan percaya diri dengan ber-Islam. Sehingga ketika berdiskusi dengan golongan agama lain, mereka mampu untuk mengajak mengevaluasi lagi kepercayaannya. Dan kalau diselidiki tentu saja yang benar adalah yang diridhoi oleh Allah.
Perkara ketiga: Manusia kalau sudah mengerjakan pekerjaan berulang kali, maka akan terbiasa. Kebiasaan itu menjadi disenangi dan sulit untuk diubah. Mereka kemudian akan membela adat kebiasaannya itu dari sudut keyakinan atau perasaan. Demikian itu karena anggapan mereka bahwa yang kebiasaan yang mereka lakukan adalah kebenaran. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Manusia dalam perkara ini diibaratkan seperti botol kosong. Selalu menerima sembarang apa yang mengisinya. Maka ketika orang tua mengisi dengan agama Kristen, si Anak menjadi Kristen. Jika orang tua menolak agama, anaknya pun menolak agama. Mereka akan meniru saja perilaku orang tua dan gurunya. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Sejatinya manusia perlu memikirkan dalam-dalam dan memikirkan mana yang benar dan mana yang salah. Manusia ketika menerima fatwa orang yang dianggap guru besar, lalu taklid. Menurut tanpa mengetahui dalil, dan tergesa-gesa menolak fatwa pihak lain.
Kiyai Hadjid menyimpulkan perkara ketiga ini dengan kesimpulan: “Apa saja seperti pengetahuan, kepercayaan, perasaan, kehendak, tingkah laku yang kau miliki, yang tumbuh dari kebiasaan, dan jangan tergesa-gesa diputus sendiri lalu dianggap benar. Hendaklah dipikir dahulu, dibanding dan dikoreksi, apakah sungguh sudah benar?” (K.R.H. Hadjid: 2018)
Perkara keempat menurut Kiyai Hadjid adalah manusia perlu memikirkan dan mempergunakan akalnya untuk memikir, apa sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia. Apakah perlunya? Hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju?
“Manusia harus menggunakan pikirannya untuk mengoreksi soal i’tikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat akibatnya akan celaka, dan sengsara selama-lamanya,” demikian jelas Kiyai Hadjid. (K.R.H. Hadjid: 2018)
Perkara kelima menurut Kiyai Hadjid adalah manusia perlu mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, membaca beberapa tumpuk buku, dan sesudah memperbincangkan, memikirkan, menimbang, dan membanding-bandingkan kesana-kemari, barulah mereka itu dapat memperoleh keputusan, dan kebenaran yang sesungguhnya. (K.R.H. Hadjid: 2018)
erkara kelima ini memacu manusia untuk membuka pandangan, meningkatkan kualitas literasi mereka. Ada kalanya hambatan menghadang. Seperti syair yang sering disenandungkan Kiyai Ahmad Dahlan:
“Dalam agamaku terang benderang bagi orang yang mendapat petunjuk, tetapi hawanafsu (menuruti kesenangan) merajalela di mana-mana, kemudian menyebabkan akal manusia menjadi buta.”
Satu hal yang perlu direnungi dalam perkara ini adalah perkataan Kiyai Dahlan:
“Mula-mula agama Islam itu cemerlang, kemudian kelihatan makin suram. Tetapi sesungguhnya yang suram itu adalah manusianya, bukan agamanya.”
Perkara keenam adalah: Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.
Perkara terakhir yang diajarkan Kiyai Ahmad Dahlan kepada Kiyai Hadjid adalah menekankan tentang belajar. Belajar terbagi dua: Pertama Belajar ilmu (pengetahuan atau teori). Dan Kedua, Belajar Amal (mengerjakan, mempraktekkan).
“Semua itu dipelajari bertingkat, setingkat demi setingkat. Demikian pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah,” demikian jelas Kiyai Hadjid ketika membahas perkara terakhir ini.
Jika kita menelaah tujuh perkara yang diajarkan pada para muridnya ini, maka Kiyai Ahmad Dahlan sesungguhnya memulai pelajaran dari persoalan mendasar. Tentang keyakinan. Kemudian beranjak pada pengetahuan, menolak sikap taklid, hingga menguji pengetahuan dan berbicara tentang kepemimpinan. Setelah itu menekankan kembali untuk belajar dan mempraktekkan ilmunya. Maka pantaslah jika kita sedikit mengambil gambaran umum bahwa amal nyata Muhammadiyah itu dimulai dari konsep pendidikan yang diwariskan oleh Kiyai Ahmad Dahlan.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker