Falsafah Sosial Menurut Al-quran dan As-sunnah
“kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari`at (peraturan) dan urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” (Q.S.Al-Jaatsiyah 45:18)
Masyarakat merupakan sesuatu sistem yang merangkai kehidupan manusia secara kolektif, dipastikan memiliki suatu sistem nilai yang dijadikan asas hidup bersama. Pada masyarakat yang masih primitif, nilai-nilai tribalisme, totemisme, tradisonalisme dan magmisme adalah nilai –nilai yang di pertahankan sebagai dasar kehidupan bersama. Sedangkan pada masyarakat modern, nilai-nilai ateisme, sekularisme dan demokrasi dan di pandang sebagai dasar kehidupan yang paling baik dan paling cocok bagi semua masyarakat.
Sistem masyarakat islam bukanlah sekedar sistem kehidupan bersama yang di bangun oleh orang-orang yang beragama islam. Akan tetapi sistem yang telah di bangun oleh Rasulullah SAW atau khalifahnya menurut petunjuk Allah (syariah). Pada prinsipnya, sistem ini di bangun berdasarkan:
Pertama, harmonisme hubungan manusia dengan Allah SWT.
Masyarakat sekuler adalah masyarakat yang memposisikan dirinya sebagai musuh tuhan, baik dengan cara ekstrim mau pun dengan cara yang moderat.
Pada masyarakat sekuler yang ekstrim, permusuhan terhadap tuhan di realisasikan dengan menolak eksistensi-Nya atau mengumumkan kematian-Nya, seperti yang telah di lakukan si filosuf gila, Nitzche.
Ada pun masyarakat sekuler yang moderat, permusuhan terhadap tuhan di aktualisasikan dengan cara privatisasi agama atau dengan cara menjebloskan tuhan ke dalam penjara yang amat jauh dari singgasana-Nya, yang tak lagi memiliki kekuasaan dalam mengurus kehidupan masyarakat, dengan begitu, seluruh otoritas tuhan dalam menentukan dasar, arah dan tujuan kehidupan masyarakat dapat di rampas oleh manusia . kehidupan sosial, politik, budaya , ekonomi, hukum dan etika serta modal yang dapat di disterilkan dari nilai-nilai agama dan di serahkan sepenuhnya kepada kemampuan akal manusia untuk mengurus dan mengelolanya sesuai selera dan hawa nafsu mereka.
Berbeda dengan masyarakat islam. Masyarakat islam adalah masyarakat yang memposisikan dirinya sebagai kekasih Allah, karena islam menghendaki agar hubungan manusia atau masyarakat dengan Allah selalu harmonis. Mereka selalu di wajibkan mentaati ajaran-Nya dan mencintai-Nya. Mereka juga di perintahkan agar selalu berzikir untuk memujinya dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “…adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah …”.(Q.S.Al-baqarah 2:165). Hubungan yang selalu harmonis antara masyarakat islam dengan tuhan , mereka aktualisasikan dengan keimanan, ketauhidan dan ketaqwaan. Selain itu harmonisme mereka aktualisasikan dengan cara menata semua aspek kehidupan menurut syariat-Nya. Jadi, apabila suatu masyarakat tidak memiliki karakter seperti itu, pada hakikatnya bukanlah sebagai masyarakat islam yang sebenarnya, sekalipun seluruh warganya terdiri dari orang-orang yang menyatakan dirinya muslim.
Kedua, hubungan sistematik dan organik antara kehidupan masyarakat dengan syariat.
Masyarakat sekuler yang agak moderat berpandangan bahwa otoritas hukum yang bersumber dari agama terbatas pada urusan-urusan privat atau perorangan. Sedangkan otoritas untuk mengatur urusan-urusan yang menyangkut kehidupan masyarakat adalah hak mutlak masyarakat, sehingga dalam hal menentukan norma-norma yang mengatur masalah –masalah sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat tidak boleh di intervensi oleh siapapun, kecuali sistem hukum yang di ciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Tuhan atau kekuasaan atas nama tuhan tidak memiliki hak untuk mengintervensi masyarakat dalam mengatur kehidupan mereka.
Doktrin Tauhid
Hal itu berbeda dengan sistem masyarakat islam . masyarakat islam berpijak pada doktrin tauhid yang menyatakan bahwa tiada tuhan yang Maha Kuasa kecuali Allah SWT dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaannya. Ke-Maha kuasaan-Nya tidak terbatas pada kekuasaan atas alam, akan tetapi ke-Maha kekuasaanya meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk semua aspek kehidupan manusia. Allah SWT berfirman: “Dan katakanlah (Muhammad): “segala puji bagi Allah yang tidak mempunyai anak dan tidak (pula) mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia tidak memerlukan pertolongan dari kehidupan dan agungkan lah Dia seagung-agungnya”. (Q.S. Al- israa` 17:111). Dan firman-Nya : “Dan dia-lah berkuasa atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia-lah yang Maha bijaksana lagi Maha Mengetahui”.(Q.S. Al-an-`aam 6:18).
Tidak ada pilihan lain
Doktrin tauhid ini meniscayakan supremasi atas kedaulatan syariat Allah SWT atas seluruh aspek kehidupan individu dan masyarakat. Oleh Karena itu tidak ada pilihan lain bagi setiap muslim atau masyarakat islam , kecuali menerima kedaulatan syariat Allah SWT tersebut. Firman-Nya : “Dan tidak patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan , akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh lah dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata”.(Q.S.Al-ahzaab 33:36).
Bila kita menginginkan ridha Allah , bagi diri kita dan bagi hidup kita dan kematian kita, kita harus menundukkan diri dan seluruh aspek kehidupan kita pada kedaulatan-Nya. Kalau tidak begitu, amat mustahil bagi kita untuk meraih ridha-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan, bahwa sikap orang yang mencampakkan syariat-Nya dari sistem kehidupan individu atau masyarakatnya atau orang yang berpandangan bahwa agama adalah urusan privat dan tidak ada kaitannya dengan urusan masyarakat atau negara adalah sama persis dengan sikap orang-orang yahudi, sekalipun dia mau menjalan kan syariat-Nya dalam hal ritual atau peribadatan dengan ketaatan dan kekhusyu`an. Allah SWT berfirman: “ apakah kamu(bani israil) beriman kepada sebagian Al-kitab(taurat) dan ingkar terhadap sebahagian lain? Tiadalah balasan bagi orang-orang yang berbuat demikian dari pada mu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan hari kiamat mereka di kembalikan kepada siksa yang amat berat. Allah tidak lengah dari apa kamu perbuat”.(Q.S. Al-baqarah 2:85).
Pada prinsipnya yang dapat di sebut sebagai masyarakat islam adalah masyarakat yang menerima syariat Allah sebagai bagian sistematik atau organik dari sistem kehidupan mereka. Tanpa sikap seperti ini, bukanlah masyarakat islam namanya, tetapi mereka adalah masyarakat muslim sekuleris.
Ketiga, keadilan sosial.
Keadilan sosial merupakan dasar dan tujuan yang ingin di capai oleh masyarakat islam , karena hal itu merupakan perintah Allah SWT yang wajib di laksanakan. Allah SWT berfirman: “ sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dalam berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S.An-nahl 16:90)
Di berlakukan sama atau sederajat
Dalam ranah kehidupan bersama,keadilan sosial itu oleh Rasulullah SAW di aktualisasikan dengan cara memasyarakatkan paham egaliterisme dan persaudaraan, sehingga setiap individu di pandang dan di berlakukan sama atau sederajat di hadapan masyarakat, hukum , politik dan kebijakan-kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama. Islam tidak membenarkan diskriminasi yang membeda-bedakan masyarakat berdasarkan ras, kesukuan , kebangsaan, stasus ekonomi dan sosial. Hubungan antara sesama mukmin atau muslim diikat oleh tali persaudaraan universal.
Dalam masyarakat islam tidak di benarkan adanya hirarkisme sosial atau sistem kasta, yang di perkenankan hanyalah stratifikasi sosial berdasarkan kualitas ketaqwaan, kapabilitas keilmuan, serta konstribusi positif yang dapat di sumbangkan untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha mengenal ” . (Q.S. Al-Hujuraat 49:13). Firman-Nya: “..Allah akan meninggikan orang-orang di antara kamu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yanga kamu kerjakan “.(Q.S. Al-Mujaadilah 58:15).
Nabi SAW bersabda: “Manusia yang baik adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya”.(H.R. At-Thabrani).
Meratakan kemakmuran
Dalam ranah sosial ekonomi, keadilan sosial oleh Rasulullah SAW di aktualisasikan dengan cara meratakan kemakmuran di tengah masyarakat melalui kewajiban zakat, sedekah dan dengan menanamkan suatu paham bahwa di dalam kekayaan ada hak kaum berekonomi lemah (dhua`fa) yang wajib di bayarkan. Selain itu, keadilan sosial di realisasikan melaluai pemutusan rantai perbudakan , sehingga sistem perbudakan yang menjadi pilar ekonomi dan budaya pada zamannya, dapat diminimalisi. Bahkan , dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW bekeinginan kuat untuk mengakhiri sistem perbudakan, dengan mengatakan perbudakan lebih dekat pada sistem kekufuran .Rasulullah SAW bersabda: “sepeninggalku nanti, jangan kembali kepada kekufuran , yakni perbuatan seseorang yang memberlakukan sesamanya sebagai budak”.(H.R. Muslim)
Ironisnya, sistem perbudakan yang telah di minimalisir oleh Nabi SAW bersama para sahabatnya, bangkit kembali setelah lahirnya regim `Amawiyah bersama bengkitnya feodalisme arab, sehingga diskriminasi sosial pun terus meluas di seluruh penjuru kerajaan
Keempat, Eskatologisme.
Eskatologisme atau keimanan akan adanya kehidupan akhirat, juga merupakan salah satu dasar yang sangat fundamental bagi aqidah dan seluruh dimensi falsafah sosial islam, sehingga setiap potensi yang dimiliki oleh masyarakat di manfaatkan untuk membangun suatu kehidupan duniawi yang di ridhai Allah SWT, yang di arahkan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi di alam akhirat. Sesuai dengan ajaran Allah yang di wahyukan-Nya melalui Al-quran dan As-sunnah Rasul-Nya, oleh karena itu, perjuangan atau usaha-usaha untuk mencapai di dunia maupun di akhirat merupakan salah satu asas yang sangat fundamental dalam membangun masyarakat. Allah SWT berfirman : “Dan carilah apa yang telah di anugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan lah kamu melupakan bahagianmu (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu dan jangan lah kamu berbuat kerusakan di (muka bumi). Sesunggunya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.(Q.S.Al-Qashash 28:77).
Bila masyarakat yang di bangun itu berdasarkan paham-paham sekuler (Marxisme, sosialisme, nasionalisme, kapitalisme, liberalisme, demokrasi dan lain sebagainya) yang mengarahakan masyarakat ke arah sikap anti tuhan , anti agama, hedonism serta penolakan terhadap ide-ide tentang kehidupan akhirat, maka hal itu harus di tolak. Oleh islam, masyarakat di arahkan kea rah kehidupan yang di ridhai Allah , baik di dunia maupun di akhirat, sehingga dalam masyarakat islam tidak di perkenankan adanya ide-ide yang secara ekstrim-memisahkan antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat.
Integralisme antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat, pada prinsipnya berdasarkan doktrin aqidah Islamiyah tentang dualisme kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, sehingga semua aktifitas kehidupan duniawi di pandang sebagai ibadah yang salah satu tujuannya, adalah mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat.
Sumber: Uswatun Hasanah 2017