BeritadefaultKhazanah

Ketokohan K.H. Ahmad Dahlan serta Keahliannya dalam “Membaca”

K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh pejuang agama Islam. Di Muhammadiyah, ada beberapa ciri-ciri seseorang disebut sebagai tokoh. Pertama, anti kultus. Tidaklah aneh jika makam K.H. Ahmad Dahlan tidak megah yang padahal beliau merupakan pahlawan nasional. Meskipun demikian, makam yang tidak megah dan bahkan cenderung lusuh tersebut justru memancarkan kekuatan yang luar biasa dari ketokohannya. Kedua, seseorang yang tidak mau ditonjolkan.

K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh agama yang tidak menulis. Tulisan tentang dirinya kebanyakan ditulis oleh murid-muridnya. Beliau pernah ditanya mengenai keengganan dirinya untuk menulis, beliau menjawab bahwa salah satu alasannya adalah beliau takut jika nanti tulisannya akan dipuja-puja sehingga menimbulkan pengkultusan kepada tulisannya tersebut. Ketiga, analisis tulisan yang ditulis oleh rekan-rekannya. Tulisan mengenai K.H. Ahmad Dahlan banyak ditulis oleh rekan-rekannya yang di antaranya adalah tulisan Kyai Syuja yang menulis tentang kepribadiannya.

Sebagai seorang tokoh, K.H. Ahmad Dahlan merupakan pribadi yang pintar membaca. Membaca dalam konteks ini bukanlah membaca sebuah tulisan maupun membaca buku. Membaca dalam konteks ini ialah beliau mampu menangkap realitas yang dihadapi dalam kehidupan beliau yang kemudian diubah menjadi hal-hal yang patut beliau kerjakan. Ada beberapa ciri mengapa beliau memiliki kecerdasan membaca.

Pertama, beliau merupakan pribadi yang cerdas serta memiliki magnet untuk mempengaruhi orang. Tidak banyak seseorang yang memiliki dua kemampuan ini yaitu kecerdasan dan kemampuan mempengaruhi orang lain. Dalam sejarahnya, beliau memiliki kemampuan mengawinkan keduanya. Dalam Bahasa Jawa, beliau disebut ndregil, yang artinya selalu saja mempunyai solusi atas permasahalan yang terjadi di sekitarnya.

Kedua, sadar perubahan. Keunikan kesadaran akan perubahan beliau adalah terletak  pada kesadarannya di tengah kebuntuan. Kesadaran tersebut muncul di tengah-tengah masyarakat yang tidak pernah memikirkan perubahan serta cenderung setia mengikuti tradisi nenek moyang. Ketiga, sadar potensi ubah dari ilmu yang bersifat qouliyah dan yang bersifat kauniyah. Pesantren-pesantren pada waktu itu hanya menekankan pendidikan keislaman yang bersumber dari kitab suci saja. Di tengah kondisi pendidikan Islam waktu itu, beliau memiliki kesadaran bahwa ilmu yang mampu membuat perubahan bukan hanya ilmu yang bersifat wahyu (Qouliyah) akan tetapi pengetahuan akan alam semesta (kauniyah) juga penting untuk umat Islam. Dari situlah muncul sekolah-sekolah yang digagas beliau yang di dalamnya dipelajari ilmu-ilmu alam semesta seperti geografi atau ilmu falak.

Keempat, sadar kepemimpinan yang inovatif dan penuh resiko. Beliau memiliki kesadaran bahwa pemimpin yang memiliki inovasi, terlebih dalam hal keagamaan, harus siap menghadapi berbagai resiko seperti  dicaci-maki, dikucilkan atu dikafirkan. Jika tidak siap menghadapi resiko-resiko tersebut, maka lebih baik tidak usah menjadi seorang pemimpin. Seseorang tidaklah cukup memiliki kesadaran untuk mengubah sesuatu tetapi ia juga perlu siap menghadapi resikonya.

Membaca merupakan keahlian yang penting untuk dimiliki oleh masyarakat di zaman sekarang terlebih untuk seorang muslim. Dalam Islam sangat jelas bahwa perintah pertama yang disebutkan dalam Al-quran adalah membaca. Tentunya bukan hanya keahlian membaca tulisan, akan tetapi kita dituntut untuk membaca keadaan serta realitas yang terjadi di tengah lingkungan kita. [Tfk]

Tonton Selengkapnya :

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker