default

Fatwa Tarjih Muhammdiyah : Bagaimana hukum masalah sende, termasuk riba atau bukan?

Saudara Marsam,

Argomulyo, Sedayu, Sleman

Pertanyaan:

Bagaimana hukum masalah sende, termasuk riba atau bukan? Contoh sende, missal A pinjam uang 1 juta rupiah kepada B dengan boreg tanah sawah setengah bagian kira-kira 1000 m2. Selama uang 1 juta rupiah yang dipinjam oleh A belum bisa dikembalikan kepada B, maka sawah A tetap dikelola oleh B dan hasilnya pun dipetik oleh B. Baru setelah beberapa tahun A dapat mengembalikan uang 1 juta rupiah kepada B, maka sawah juga kembali pada A. Mohon penjelasan beserta alasan dalilnya.

Jawaban:

Setelah kami membaca dan mempelajari pertanyaan saudara tentang sende, kami berpendapat bahwa sende sebagaimana yang saudara contohkan dalam pertanyaan, dalam pandangan ajaran Islam dapat digolongkan sebagai الرَّهْنُ (gadai). Gadai dalam ajaran Islam tidak hanya yang agunannya berupa benda bergerak, juga yang agunannya berupa benda tetap (tidak bergerak) seperti sawah, ladang, dan sebagainya.

Dalam ajaran Islam, aqad gadai pada dasarnya adalah aqad hutang piutang, namun kemudian disertai agunan agar orang yang memberi hutang (kreditur) percaya untuk memberi hutang, karena adanya barang yang dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan hutang.

Pada dasarnya, aqad hutang piutang adalah aqad tabarru’, yakni perjanjian itu diadakan dan dilakukan untuk suatu kebajikan, bukan untuk mencari keuntungan. Memberi pinjaman (hutang) kepada orang yang sangat memerlukan dipandang sebagai sebuah kebajikan atau ibadah. Dalam hadits disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ. وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. (أخرجه مسلم

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata; Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang melapangkan nafas seorang mukmin dari suatu kesusahan di dunia, niscaya Allah akan melapangkan nafasnya dari suatu kesusahan pada hari kiamat; dan barangsiapa yang memudahkan orang yang sedang terkena kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan orang itu di dunia dan di akhirat; dan barangsiapa menutup cela seorang muslim, maka Allah akan menutup cela (kesalahannya) di dunia dan di akhirat; dan Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً. (رواه ابن ماجة)

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud: Sesungguhnya Nabi saw bersabda: Setiap muslim yang mau memberi hutang kepada sesama muslim sebanyak dua kali, maka tidak lain kecuali seperti ia bershadaqah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)

Sebaliknya, mengambil keuntungan atau manfaat dalam perjanjian hutang piutang dilarang oleh agama, karena dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk riba.

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً. (رواه البخاري

Artinya: “Dari Anas, dari Nabi saw, beliau bersabda: Apabila seseorang memberi hutang, maka janganlah ia mengambil hadiah.” (HR. al-Bukhari)

وَ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا. (رواه أحمد, وأبو داود)

Artinya: Dari Abu Umamah ra., dari Nabi saw., beliau bersabda: Barangsiapa yang memberi pertolongan kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberi hadiah kepadanya dan diterimanya, maka berarti ia telah sampai kepada sebuah pintu besar, dari pintu-pintu riba. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Dalam sende, dapat dikatakan bukan aqad tabarru’ yang semata-mata memberikan pertolongan berupa pinjaman tanpa imbalan atau keuntungan kepada pemilik sawah yang sedang sangat membutuhkan uang, melainkan perjanjian hutang piutang yang dilakukan dengan mengambil keuntungan berupa mengerjakan dan mengambil hasil dari sawah yang dijadikan agunan.

Dengan memperhatikan hadits di atas, maka dalam sende yang dilakukan dengan pengelolaan sawah oleh pemberi hutang, menurut hemat kami tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Hal ini dapat dipahami, karena tidak jarang, – jika tidak dapat dikatakan kebanyakan, – yang terjadi orang yang menggadaikan sawah adalah orang yang terdesak dengan kebutuhan. Jika sawah yang digadaikan itu dikelola dan diambil hasilnya oleh pemberi hutang, maka beban hidup orang yang menggadaikan akan lebih berat, karena akan berkurang penghasilannya. Sementara itu ia masih mempunyai beban untuk melunasi hutangnya. Ibarat pepatah ia adalah orang yang jatuh tertimpa tangga. Sungguh sangat mulia orang yang mau menolong sesamanya yang sedang mengalami kesulitan.

Dalam pada itu barang gadai – yang dijadikan agunan – hak pemilikannya masih tetap pada penggadai. Oleh karena itu dialah yang berhak menikmati hasilnya atau mengambil manfaatnya; dan ia pula yang harus menanggung segala resiko atau biaya untuk perawatan dan pemeliharaannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يُغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِ الَّذِي رَهَنَهُ لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ. (رواه الدار قطني والحاكم

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tidak tertutup barang gadai dari pemiliknya yang menggadaikannya; dialah yang memiliki keuntungannya dan dia pula yang menanggung kerugiannya.” (HR. ad-Daruquthni dan al-Hakim)

Namun karena sawah tersebut dalam tanggungan gadai, yang memungkinkan untuk berada di bawah kekuasaan pemberi hutang, maka akan menyulitkan cara pengelolaan oleh penggadai (yang berhutang). Dalam hal ini kami mencoba menawarkan jalan keluarnya, yakni dengan:

  1. Sawah yang digadaikan itu dibawah kekuasaan pemberi hutang dan sekaligus ia yang mengelola dengan bagi hasil kepada pemiliknya, yakni orang yang berhutang. Dengan cara seperti ini, sawah tetap berada di bawah kekuasaan pemberi hutang, namun dalam pada itu pihak yang berhutang (pemilik sawah) juga masih menikmati hasilnya.
  2. Atau, jika pemberi hutang cukup percaya kepada orang yang berhutang, cukup diserahkan sertifikat atau surat tanah yang lain, sementara sawah masih dikerjakan dan dipetik hasilnya oleh pemiliknya.

Wallahu a’lam bish-shawab. *dw)

Fatwa Tarjih Muhammdiyah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker