Beritadefault

Mengenal Kisah Kehidupan dari Abu Hamid Al Ghazali

TABLIGH.ID, YOGYAKARTA—Abu Hamid Al Ghazali lahir pada tahun 450 H di Thus. Pada saat itu, Dinasti Saljuq dipimpin oleh Tughril Bek yang menganut hukum Hanafiyah sehingga menganggap Syafiiyah dan Asyariyah sebagai lawan. Tughril bahkan beberapa kali melakukan persekusi dan memerintahkan untuk mengutuk Asyariyah (juga Imamiyah) dari atas mimbar. Saat Al Ghazali berusia lima tahun, Tughril meninggal dunia.

Meninggalnya Tughril Bek dan naiknya Alp Arslan menyebabkan digantinya wazir al-Kunduri dengan Nizham al-Mulk. Pada saat yang bersamaan, persekusi terhadap sarjana Asyariyah dinyatakan berakhir. Lebih jauh, Nizham al-Mulk menganggap bahwa paham kalam Asyariyah dan fikih Syafiiyah sangat tepat dalam usahanya membendung propaganda Fatimiyyah di Mesir.

Untuk memperkuat basis Sunni sebagai antisipasi terhadap penyebaran paham Syiah Bathiniyah, Nizam al Mulk membangun sekolah-sekolah ideologis dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Pada tahun 461 H, al Ghazali masuk Madrasah Nizhamiyah di Nishapur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini.

Bersama Al Juwaini, Al Ghazali banyak belajar tentang hukum, teologi, dan filsafat. Saat usianya menginjak 23 tahun, di bawah bimbingan Al Juwaini, Al Ghazali menulis buku pertamanya dalam bidang usul Fikih dengan judul al-Mankhul min Ta’liqat al-Ushul. Lima tahun setelah buku ini terbit, sang guru menghembuskan nafas terakhir.

“Karya pertama Al Ghazali bukan tasawuf, tapi bidang teori hukum Islam. ini ditulis saat dirinya menjadi mahasiswa Al Juwaini,” terang Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Muhamad Rofiq Muzakkir dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat dan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (03/08).

Karena reputasi ilmiahnya yang begitu hebat serta penguasaannya di dalam ilmu-ilmu Islam, pada tahun 478 H Al Ghazali menemui Wazir Nizam Al Mulk pertama kali di Isfahan. Pertemuan keduanya merupakan simbol interdepensi antara ulama dan umara yang membawa dampak positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Kedekatan Al Ghazali dengan penguasa ini membuat dirinya direkrut untuk menduduki jabatan-jabatan intelektual yang strategis. Pada tahun 484 H, Al Ghazali ditunjuk sebagai profesor Universitas Nizhamiyah di Baghdad. Saat Al Ghazali berusia 38 tahun, ia menulis kitab fenomenal: Tahafut al Falasifah, kitab kontroversial yang menguliti pemikiran para filsuf terutama Al Farabi dan Ibnu Sina.

Di tahun yang sama, ia mulai merasakan keresahan spiritual yang begitu mendalam hingga dirinya jatuh sakit tak bisa berbicara. Ia kemudian memutuskan untuk meninggalkan seluruh jabatan terpandangnya di Baghdad, mengembara ke Damaskus.

Di sela-sela pengembaraan selama dua tahun itu, al-Ghazali sempat melakukan ziarah ke makam Nabi Ibrahim dan melakukan ritual ibadah haji. “Baru empat tahun jadi profesor al Ghazali merasa hidupnya banyak berorientasi pada kekuasaan, akhirnya dia izin ke Khalifah untuk menunaikan ibadah haji, tapi kenyataannya dia ke Damaskus dulu, kemudian ke Yerussalem, ziarah ke makam Ibrahim, baru setelah itu ke Mekkah dan kembali ke Damaskus,” terang Rofiq.

Pada tahun 490 H  Al-Ghazali kembali ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Selama enam bulan mengajar, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Thus dan membuka semacam halaqah bagi kaum sufi (ribat).

Hidup dalam kecenderungan sufisme, Al Ghazali mencurahkan seluruh waktunya untuk bermeditasi, melakukan ibadah dan zikir, sambil terus berusaha mengobati keresahan batinnya yang mencengkam. Ketika Fakhr al-Mulk memintanya kembali memimpin Madrasah Nizhamiyah pada tahun 499 H, dalam benaknya timbul kesadaran baru bahwa ia harus keluar dari ‘uzlah (pangasingan diri).

Tugas di Nizhamiyah Nishapur ini tak lama diembannya. Hanya setahun mengajar. Pada tahun 500 H, dirinya pamit dari kota itu untuk kembali membimbing para murid di halaqah yang didirikannya.

Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang mursyid, Al Ghazali menulis kitab Al Munqidz min al Dhalal. Lima tahun setelah kitab itu beredar, Al Ghazali wafat di usia 55 tahun. “Buku Al Munqidz min al Dhalal yang mau kita kaji ini ditulis Al Ghazali saat usianya lima puluh tahun. Al Ghazali kemudian wafat pada tahun 505 H saat usianya 55 tahun,” ujar alumni Arizona State University ini.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker